Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.
Showing posts with label Berani Cerita. Show all posts
Showing posts with label Berani Cerita. Show all posts

Berani Cerita #40 : Pilihan Hati

Jam kantor telah usai. Sandra terdiam menunggu Malik ke luar dari ruang Dirut. Sandra terlalu sering berselisih paham dengan Malik. Tapi kali ini, sepertinya Sandra akan terbunuh secara perlahan. Sandra duduk di kubikelnya. Masih terngiang ancaman Malik tadi. Sandra meremas tangannya, perutnya terasa tegang.


“Rio, manager kita itu sahabatku. Dia telah dijodohkan dengan puteri Dirut kita. Jangan coba-coba menggoda Rio. Aku akan membunuhmu kalau sampai perjodohan itu gagal!!!”


Kata-kata Malik terus saja terngiang di telinga Sandra. Malik orang kepercayaan Dirut dalam banyak hal termasuk urusan percintaan puterinya. Sifat Malik yang terlalu setia itu, kadang membuat Sandra sebal. Sandra mengutuk dirinya sendiri yang ceroboh. Harusnya setelah meeting dengan klien waktu itu, Sandra menolak ajakan Rio untuk makan malam. Rio begitu baik dan Sandra menyukainya.


Sandra tidak mau usaha yang dilakukan selama ini gagal begitu saja. Sandra memulai semuanya dari nol, dari titik terbawah untuk membuktikan bahwa dia bisa mandiri walaupun tanpa kerja keras dia sudah pasti mendapatkan posisi lebih dari posisinya sekarang.


Sandra bisa memastikan rencana perjodohan itu jelas akan gagal karena dirinya. Ketika rasa itu muncul dan jatuhnya pada orang lain, siapa juga yang kuasa melarangnya?


Malik baru saja keluar dari ruang Dirut. Malik mendekati meja Sandra. Wajahnya merah, matanya menatap Sandra seperti ingin menelannya sekaligus.


“Puas sekarang, ha? Apa sih maumu?” tanya Malik sinis.

“Maksudmu?”

“Jangan pura-pura tidak tahu! Perjodohan itu gagal dan semua itu karenamu!”

“Aku akui, itu semua salahku. Kenapa selalu saja Rio yang kamu pikirkan?”

“Karena dia sahabatku!”

“Kapan kamu mempedulikan dirimu sendiri?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan! Kamu perempuan cantik dan berpendidikan. Harusnya kamu bisa mendapatkan lebih dari seorang Rio. Tinggalkan Rio, aku bisa membantumu melupankannya.”


Malik menunduk menatap wajah Sandra. Malik mendekatkan bibirnya ke bibir Sandra kemudian mengecup bibirnya sejenak.


“Apa kamu menciumku demi Rio juga?” tanya Sandra.

Malik sedikit kikuk. Dia bukan seorang yang pintar berkata-kata.

“Ini karena…, aku mempedulikanmu.”

“Aku bukan sahabatmu! Toh kita sering bertengkar, tak perlu kau mempedulikanku!” kata Sandra acuh.

Sandra beranjak dari kursinya, mengambil tas hendak pergi. Tapi Malik menghentikannya.

“Aku mencintaimu.” kata Malik lirih.

Sandra menatap Malik tak percaya.

“Aku serius! Jadi bagaimana?” ulangnya lagi

Sandra tersenyum melihat Malik semakin kikuk.

“Kalian belum pulang?” tanya seorang yang tak lain adalah Dirut mereka.

“Kami masih ada urusan yang perlu diselesaikan, Pak.” jawab Malik.

“Urusan?” tanya Pak Dirut menatap Malik kemudian mengalihkannya pada Sandra yang tersenyum tenang.

“Baiklah. Sandra, jangan lupa ke rumah Ayah jam 8. Mamamu sudah menyiapkan makan malam.” lanjut Pak Dirut kemudian meninggalkan keduanya.

“Ke rumah Ayah? Maksudnya apa, Sandra?” tanya Malik tak mengerti.

“Tidak salah kan kalau perjodohan itu gagal karenaku. Aku memilihmu, Malik.”



Notes : Suka banget bannernya :uhuk , makanya belain ikut :smile

Berani Cerita #34 : Cerita di Atas Gorong-Gorong

Credit
Aku mengambil payung dan segera berlari menuju mobil. Kutaruh plastik es krim yang baru kubeli di mini market. Aneh juga permintaan gadisku itu, ups!


Airin, gadisku meminta es krim di saat hujan seperti ini. Baiklah, dia belum menjadi gadisku. Dia, hanya seseorang yang membuatku merasa nyaman. Aku selalu memperhatikannya secara diam-diam. Dia adalah teman berbagi apapun yang kurasa. Tapi, aku hanya seorang pecundang.


Kuparkirkan mobilku di tepi jalan menuju gorong-gorong taman wisata tempat di mana Airin menunggu. Aku sengaja memintanya bertemu di sana karena sedikit jauh dari keramaian. Gorong-gorong yang masih begitu asri dengan air jernih yang mengalir di bawahnya. Hujan seperti ini, mungkin suasananya jauh berbeda. Tapi, apa mungkin dia mau menunggu?

Aku melihat seorang gadis berpayung hijau sedang menikmati air di atas gorong-gorong. Dia, Airin tersenyum kepadaku.

“Sudah lama?” tanyaku.
“Kurang lebih 30 menit.”
“Maaf.”
“Bukankah sudah biasa? Kenapa memilih bertemu di sini? Kau mau membunuhku?”

Aku menatapnya, dia lagi-lagi tersenyum.

“Bisa jadi. Kelihatannya di sini aman untuk sebuah aksi pembunuhan. Kau mau terjun atau aku yang mendorong?”
“Aku menulis clue tentang siapa yang terakhir kutemui di buku harianku. Orang tuaku pasti bisa melacaknya.”
“Oh ya? Seberapa banyak namaku kau tulis di diary?”

Airin memutar-mutar payung hijaunya.

“Sebanyak kau berbicara denganku. Tapi anehnya, kenapa kau tak pernah bersuara jika kita bersama banyak orang?”
“Itu…, aku hanya takut salah bicara.”
“Salah tentang apa?”

Aku terdiam. Dia menatapku kemudian mengalihkan pandangannya ke bawah aliran air.

Aku takut salah dihadapan Airin. Tentang bagaimana aku yang tidak bisa menahan diriku untuk terus berbicara dengannya kemudian lidah menjadi kelu, salah tingkah, tak ingin orang lain tahu bahwa aku malu.

Aku begitu terkesima dengan segala pesonanya. Jangankan untuk berbicara dengannya di depan banyak orang, memandang matanya saja aku tak mampu. Aku hanya orang dungu, hanya bisa menampilkan diriku hanya ketika bersamanya. Apa Airin juga merasakannya? Merasakan getaran yang sama?

“Rain, mana es krimku?” tanya Airin.
“Ini!” kuulurkan plastik yang membungkus es krim itu.
“Satu untukmu.” katanya.

Kubuka bungkus es krim itu. Harusnya ketika hujan, minuman yang pas adalah yang hangat. Kenapa Airin memilih es krim?

“Bagaimana rasanya Rain? Jangan bilang kau tak mau menjawabnya.”
“Em, sedikit aneh. Tapi kenapa es krimnya jadi hangat ya?”
“Mungkin karena aku. Aku juga merasakan kehangatan yang sama.”


Aku memandangnya. Kami sama-sama tertawa, menikmati es krim bersama.

BC

Notes :
Ini jawaban tantangan dari Mbak Ririn Hima Rain. Gimana nih? Puas ngga? :uhuk . Karena aku sotoy ya, mungkin ini jawabannya jika aku jadi seseorang yang maco :smile .

[BeraniCerita #32] Stigma

“Kapan terakhir kali mengajak Nina si bungsu main ke taman? Kapan terakhir kali Mama memasak buat orang rumah? Kapan terakhir kali Mama pergi jalan-jalan bersama kami?”


Bu Layla diam saja mendengar Ryan mencerca semua yang sudah tidak pernah dilakukan lagi olehnya. Untuk mengalihkan perhatian, Bu Layla pura-pura berbicara dengan Sofi di depan televisi sambil tidur-tiduran.


Senyum di wajah Bu Layla dalam segala kebohongannya. Beban hidupnya terlalu berat, itu yang terlihat. Seorang istri yang mengurusi suami hingga meninggal. Tiga orang anaknya, Ryan, Sofi, dan si bungsu Nina tak pernah tahu apa-apa. Ya, karena Bu Layla tak mau membagi bebannya.


Ada kesedihan yang mendalam, luka yang menganga akibat dari peninggalan suaminya. Bu Layla hanya perempuan biasa, dunia liar pun tak pernah sedikit pun dikenalnya. Tapi kenapa Tuhan seolah menumpahkan kutukan dari tindakan buruk suaminya pada dirinya?


"Ma? Jawab aku?" kata Ryan marah.


Bu Layla hanya menatap Ryan. Anak laki-laki tujuh belas tahun itu replika suaminya. Rasanya ingin marah. Pada siapa?


Tanggul air mata yang ditahan pecah. Bu Layla tak kuasa menahan tangisnya.


"Ryan, Sofi dan Nina dengarkan mama. Apapun yang terjadi nanti, mama tetap mama yang selalu menyayangi dan mencintai kalian. Mama hanya takut, jika orang lain tahu tentang penyakit mama, mereka akan menjauhi kalian. Kalian ingat bagaimana keluarga papa merasa begitu jijik kepada mama? Bagaimana mereka menyimpan tangan tak mau bersalaman? Itu pukulan berat bagi mama. Mama tidak ingin itu terjadi dengan kalian terutama Nina. Mama dan Nina janji akan berobat. Mama mau hidup untuk kalian. Mama dan Nina odha." jelas Bu Layla terisak.


Dirangkulnya Ryan, Sofi dan si bungsu Nina. Mereka menangis bersama, tanpa mengerti apa yang ditangisi. Semua telah terjadi, tak perlu ada tangis kesedihan lagi.




Notes :
Wuih~ Akhirnya bisa ikut Berani Cerita lagi :uhuk . Meskipun sedang bertarung di MFF Idol kudu tetep semangat!!! Oh iya, FF ini terinspirasi dari kisah yang kutonton di Mata Najwa.

Berani Cerita #30 : Lelaki Itu


Hatiku gusar tak menentu. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, tapi lelaki itu belum juga datang. Kursi di peron stasiun masih kosong. Kemana dia? Aku menatap sekitar, semua orang sudah lalu lalang keluar masuk kereta dan lelaki itu, aku tak menemukannya. 


Apa dia sudah pergi meninggalkanku? Ah! Tidak mungkin!


Aku kembali mengamati sekitar sesekali melihat bangku peron yang masih kosong. Kamu kemana?


“Hai!”

Aku tersentak, dia datang.

“Aku bangun telat. Kereta ke Jogja belum tiba?”

“Tentu saja belum. Mungkin sebentar lagi.”


Aku menatapnya dalam diam. Dia duduk di bangku sambil membuka agenda coklat yang selalu dibawanya. 


“Hai! Keretanya datang!” teriakku histeris.

“Benar!” jawabnya antusias.


Dia berdiri dengan senyumannya. Matanya bergerak ke sana kemari mencari-cari dan terus mencari. Semua penumpang lalu lalang keluar kereta. Semua berdesakan sampai-sampai aku tertabrak dan nyaris jatuh diantara puluhan penumpang.


“Bagaimana?” tanyaku ketika melihat lelaki itu muram.

“Tidak ada. Dia belum kembali,”

Kutepuk bahu kanannya.

“Mungkin besok. Ya, besok dia akan kembali.” Lanjutnya bersemangat.

Ganbatte!

“Hei! Kau tahu dari mana kosakata itu?”

“TV. Iklannya bagus!”

“Oh iya. Pisang gorengmu aku borong. Ini uangnya. Terimakasih ya?”

“Sama-sama.”

Aku berlari. Emak!!! Pisangku habis! Horeee!!!

Berani Cerita #25 Prompt #23 : Nay

Nay duduk membisu di dekat tangga menuju balkon. Sejak kemarin perempuan itu mendiamkanku. Sekarang Nay sensitif. Aku merindukan Nay yang ceplas-ceplos, selalu menentang perkataanku, selalu mengungkapkan apa yang dia mau. Tapi sekarang, no!

"Nek, sini!" kataku.

"Ogah!"

Aku tersenyum kecut. Kuturuni anak tangga untuk menemuinya.

"Ada apa sih? Kok diemin Kakek?" tanyaku sambil mengalungkan lenganku di pundaknya.

"Ada apa?" tanya Nay kemudian melemparkan kalender yang sejak tadi ada dalam pelukannya.

Source + ngedit love dikit
Kuamati kalender yang Nay lempar. Sejak kapan Nay punya kalender ini? Tunggu, ada tanda merah menyala di 18 september.

"Cuma gara-gara kalender ini? Ya ampun Nek!"

"Cuma? Hih! Hari ini Nay mau nginep di rumah Tya, titik!"

"Kalo Nenek ke rumah Tya, nanti malam kakek tidur sama siapa?"

"Tidur aja sama guling!"

Nay beranjak, kutarik pergelangan tangannya.

"Nay!" kataku lembut.

"Apa Vin?"

"Kita bukan ABG lagi. Tya saja usianya sudah 25 tahun. Dia sudah menikah."

"Trus?"

"Kamu ngga kangen pacaran sama aku? Kita sekarang bisa berdua lagi." godaku.

Nay melotot,

"Jangan bercanda!" katanya.

"Kok bercanda sih Nek?"

"Fine!"

Gerakan Nay memaksaku melepaskan tangannya. Kutarik tubuhnya hingga wajah kami benar-benar tak berjarak. Kukecup bibir Nay lembut.

"Kita bukan ABG lagi." kata Nay melepaskan bibirnya dari bibirku. Wajahnya merah bersemu. Aku tahu, dia malu.

"Makanya jangan ngambek. Masa udah punya cucu masih diem-dieman? Ntar keriputnya nambah lho!"

"Nyindir? Udah nenek-nenek juga."

"Ya meskipun kamu sudah nenek-nenek, keriput, beruban, kamu tetep Nay yang Vino cintai. Biarpun panggilanmu berubah dari Nay jadi Bunda terus Nenek. Kamu tetep Nay yang nyebelin, tapi Vino suka. Selamat ulang tahun pernikahan kita ya!"

"Telat tau! Kemarin ke mana?"

"Pikun ya? 18 september hari ini."

Kutunjukkan wallpaper HP milikku. Nay tersenyum memandangku.

Source + Editan pake kata-kata sendiri
"Makasih ya?"

"Iya. Tapi Nay, aku bohong soal tanggal itu."

"Nay tau."

"Terus?"

Kukedipkan mataku dengan genit.

"Jangan di sini, malu!"

Aku tahu, dia juga mau.

***
MFF - BC


Notes :
Ngga ngetwist, lalala :uhuk . Lagi pengen ngegombal gembel ala kakek - nenek yang masih falling in love :luph

Berani Cerita #24 : Andra

Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata.

"Ada apa sih?"

Vivienne masih sesenggukan. Sambil menatapku dia membuka suara,

"Huaaaaaa!!! Andra mati!"

"Andra? Andra...,"

"Iya. Andra yang itu."

"Astaga! Beneran?"

"Iya. tadi aku baca, statusnya mati. Aku nangisin dia sampe tembem ini."

Sial. Si Andra pake mati ngga bilang-bilang lagi. Aku kan belum jawab tembakannya.

"Trus, dia matinya kenapa?" tanyaku.

"Dia kecelakaan mobil. Mobil yang dia kendarai ditabrak dari belakang trus guling-guling gitu, hiks,"

Sejak kapan Andra pakai mobil? Bagusan dia naik Vespa.

"Terus ya, aku kan baru aja jatuh cinta sama dia. Sakit aku, sakit." sambung Vivienne.

Hih! Katanya hanya aku cewek yang ada di hatinya. Kok bisa-bisanya buat Vivienne jatuh cinta? Dasar Andra PHP!!!

"Kamu sudah layat ke rumahnya?"

"Layat? Gimana layatnya?"

"Lho? Andra kakak kelas kita itu kan? Yang kamu kenalin ke aku itu?"

"Hih! Bukan Andra itu. Andra itu mah aku ngga doyan!"

"Trus, Andra yang mana?"

"Kamu lupa ya? Itu lho Andra suaminya Ariel cerbung X nya Mbak Annesya yang sering aku ceritain itu. Kamu katrok ih!"

Kulempar boneka Teddy Bear milikku. Bisa-bisanya aku pikir Andra serius mati. Ternyata cuma cerbung! Gila!!!



Notes :
Andra merupakan tokoh utama dalam cerbung X nya Mbak Annesya. Hasil reviewku X dan Say Goodbye to X. Ini FF curhatan hihih :uhuk

Berani Cerita #14: Bayangan Hitam

Aku baru saja selesai memotong kuku saat suara salam dari masjid itu mengalun. Rasanya kaget saja mendengar  Bu Puspa warga yang baru dua minggu di kampungku telah berpulang. Seisi kampung berkumpul tepat di depan rumahku dan aku pun ikut bergegas melihat kondisi jenazah Bu Puspa.


Kondisi jenazah baik-baik saja, berbaring di  balai bambu reotnya. Hanya saja ada yang aneh, rumah yang dia tempati kosong tanpa perabot. Padahal aku yakin betul, kemarin saat aku mengirimkan makanan kenduri, masih ada meja kursi disana. Hanya ada seekor kucing hitam di samping jenazahnya.

***

Malam ini malam ketujuh kepergian Bu Puspa. Tak ada acara tahlilan seperti pada umumnya karena Bu Puspa tinggal sendiri. Banyak sekali pertanyaan yang muncul, siapa Bu Puspa? Yang jelas, aku pun semakin tidak bisa tidur karena sering melihat bayangan hitam di rumah peninggalannya. Kuberanikan diri untuk bertandang ke rumahnya memastikan bahwa tidak ada apa-apa dan semua baik-baik saja.


Kubuka pintu perlahan, gelap. Kuhidupkan senter yang sejak dari tadi kupegang. Aku melonjak kaget melihat darah bercecer di depan pintu. Kemarin kondisinya bersih, kenapa sekarang begini? Bulu kudukku terasa berdiri. Ya Allah, ada apa ini?

Bruak!!! Aku menyenggol sesuatu.

“Suttt, diam!” kata seseorang lalu menarikku berjongkok.
“Hei, ada apa?”
“Diam Ton, jangan teriak!”
“Roni? “
“Ikan hiasku setiap hari hilang!”
“Lalu ngapain disini?”
“Aku yakin pencurinya ada disini.”
“Bu Puspa?”
“Mungkin. Bisa jadi dia hidup lagi gara-gara kucingnya.”
“Ngayal.”

Meong. Si kucing hitam itu keluar dengan ikan dimulutnya membuatku mengelus dada. Kasihan, mungkin dia kelaparan sejak ditinggal pemiliknya.

Notes:
Susahnya buat cerita kucing gara-gara ngga terlalu suka kucing :uhuk . Puspa sendiri adalah tokoh utama novel Sang Mucikari.

BeraniCerita #12 : Sepatu Butut Kakak


Kucuci bersih satu-satunya sepatu milikku. Besok aku akan lomba matematika. Jadi sepatuku yang kumal harus bersih mengkilap.

"Adek...."

Aku menoleh saat mendengar suara Kakakku. Badannya bau dan basah dengan keringat karena seharian menjual koran.

"Korannya habis?” tanyaku.

"Alhamdulillah habis. Hari ini kita bisa makan enak Dek."

"Adek cuma mau susu Kak, biar besok pikirannya tenang saat lomba matematika."

"Gampang itu. Tapi belinya setelah Kakak main bola ya?"

"Tapi, Kakak mainnya gak usah pakai sepatu ya? Adek mau pinjam sepatu Kakak buat les. Sepatu Adek basah." ucapku sambil mengamati sepatu merah Kakakku yang sudah berlubang dimana-mana.

"Oke, siap bos!"

***

Aku mengendap masuk rumah. Kakak sudah terlelap dijam delapan malam ini. Ada satu kaleng susu di samping kardus tempat tidurnya. Kak, maafkan aku.... Aku berbalik menyimpan sepatu Kakak yang kehilangan pasangannya.

***

"Jon, kata Bu Guru, pemenang ketiga dapat sepatu." kata Rudi temanku.

"Benarkah?"

"Beneran? Kamu mau jadi juara berapa?"

Aku hanya tersenyum pada Rudi. Aku pasti bisa mendapatkannya.

***

Aku beringsut menghampiri Kakak yang sudah menugguku di rumah.

"Hai jagoan! Bagaimana lombanya?"

Aku memandang wajah Kakak. Cairan bening keluar dari mataku.

"Hua, maafkan aku Kak. Aku tidak bisa juara tiga." ucapku sambil menenteng sepatu Kakak tinggal sebelah.

"Jon, Pialanya kok ditinggal? Ini mas hadiah buat Jono." kata Bu Guru yang membuntutiku sambil memberikan amplop dan kardus besar pada Kakakku.


Notes :

Terinspirasi dari film Children Of Heaven cerita tentang sepatu juga. Gak pernah absen buat nangis kalau nonton nih film.

BeraniCerita #11 : Kembalinya Cincin Ibu

Source
Aku melihat Ibu tampak gelisah. Berulang kali Ibu mondar mandir tak menentu.

"Ibu cari apa?" tanyaku buka suara.

"Noofa lihat cincin Ibu tidak? Cincin yang ada di laci itu?"

"Noofa tidak lihat Bu. Memangnya itu cincin apa?"

"Itu cincin pernikahan Ibu sayang. Ibu fikir, nanti Noofa bisa memakainya."

"Noofa masih 17 tahun Bu. Noofa tidak berhak memakainya."

Ibu hanya tersenyum sambil berlalu dari hadapanku.

***

Aku terbangun saat tengah malam. Tumben sekali lampu ruang tamu masih menyala. Apa Ayah belum pulang? Tapi motornya sudah terparkir di garasi. Aku berjalan menuju ruang makan yang masih gelap. Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki semakin mendekat. Harusnya aku santai saja, tapi aku malah bersembunyi di kolong meja. Tap! Lampu menyala.

"Apa ini Yah?" suara ibu terdengar kaget.

"Selamat ulang tahun sayang."

"Ih Ayah apa-apaan ini? Pakai sayang segala. Ibu kan malu."

"Tidak apa-apa sayang. Noofa paling sudah tidur, jadi kita aman. Kita sudah lama kan tidak bermesraan seperti ini? Candle light dinner."

"Bukannya kita sudah tua? Apa masih pantas ada adegan seperti ini?"

"Memang yang romantisan itu hanya milik kaula muda? Semakin kita tua, kita akan semakin bijak. Hari kita yang semakin tua, bertambah usia, uban bukan alasan untuk tidak saling mengungkapkan cinta."

"Ah Ayah ini."

"Sayang, jadilah bidadari surgaku!"

"Ayah! Pakai nyodorin cincin segala. Itu kan cincin Ibu! Kok bisa sama Ayah?"

"Ayah yang ambil. Boleh Ayah pasangin di jari Ibu?"

"Iya."

"Lho? Kok tidak muat?"

"Makanya Ibu copot. Cincin ini sudah terlalu sempit di jari Ibu. Ibu kan tambah melar Yah."

"Biar pun melar, Ayah tetap sayang sama Ibu."

Cup! Seperti suara kecupan. Ya Tuhan! Kapan drama romantis ini bersambung? Aku lelah jongkok di kolong meja.



Notes :

FF ini selain untuk misi Berani Cerita dan Lampu Bohlam #11 - Tua, juga ku tulis untuk Mbak Noorma yang hari ini sedang berulang tahun. Pantas saja sih kemarin nagih cerpen :uhuk . Biar pun ngga banyak kata kaya Ciderella's Stepsister dan Valentin Untuk Nay, aku harap ini bisa gantiin sementara tuh cerpen yang aku janjiin dulu :uhuk . Intinya sih, selamat ulang tahun Mbak :luph . Kapan kita ketemu lagi? :uhuk

BeraniCerita #10 : Surat Cinta Liza



Ayah Liza keluar dari ruang kerjanya sambil mengacungkan sepucuk surat.


“Liza,” katanya, “Aku sedang mencarimu, masuklah ke ruang kerjaku.”



Liza mengikuti ayahnya memasuki ruang kerja, dan ia menduga bahwa apa yang akan disampaikan oleh ayahnya tentu berhubungan dengan surat yang dipegangnya. Mereka duduk berdua saling berhadapan. Liza menyusun kata-kata dalam kepalanya untuk memberikan penjelasan yang tepat.


“Ini surat apa?”

“Surat cinta Yah.” jawab Liza gemetaran.

“Liza, kamu masih 16 tahun, harusnya kamu fokus pada sekolah bukan cinta-cintaan seperti ini."

“Liza mencintainya Yah.”

“Persetan dengan cinta!”

“Pak Aryo baik Yah, dia juga mencintai Liza.”

“Aryo guru bahasa Indonesiamu itu? Come on Liza, pikir ulang semuanya.”

“Memang kenapa Yah? Cinta tak pernah tahu pada siapa akan jatuh.”

“Ayah tidak suka dengan surat cinta gurumu itu."

“Ayah!”

“Bahasa yang dia gunakan kurang romantis. Pada kalimat ini harusnya bisa diganti dengan kata lain. Penulisan EYDnya juga masih banyak yang salah. Katanya guru bahasa, tapi hancur seperti ini tulisannya!” ucap Ayah Liza panjang lebar sambil menunjuk-nunjuk surat merah jambu miliknya.


Liza menarik napas dalam-dalam kemudian mengambil surat merah jambu itu dari meja Ayahnya. Liza membaca ulang surat itu. Dalam hati dia bergumam, kenapa Ayahnya yang orang London itu selalu saja mengomentari surat-surat cinta miliknya?


Ijinkan aku melihat bintangku dalam terang dunianya
Meskipun aku hanya mampu mencintainya dalam gelap duniaku
Dalam gelapku,
Kumasih bisa mencintaimu
Seandainya Sang Maha Pencinta meridhoi
Kita akan menyatukan dua dunia
Terang duniamu dan gelap duniaku
Duniaku duniamu memang berbeda
Tapi aku tahu
Allahlah yang menyatukan kita
Dua Dunia

BeraniCerita #09 : Rena

“Hai stop! Jangan ditaruh disitu!”

“Lalu dimana?” tanyaku pada Rena

“Situ, di sebelah lampu itu. Selalu ya, kalian kalau kerja ngga ada yang pernah beres. Masa ngurusi hal sepele seperti ini aku sendiri yang harus turun tangan?”

“Itu karena kamu ngga pernah percaya dengan orang lain,”

“Jadi, aku harus percaya sama kamu Vin? Kamu kan pengacau! Lupa apa kalau kamu sering mengambil pekerjaanku?”

“Aku ngga ngambil. Bukankah kita ini team?”

“Dekorasi ini aku yang atur, kamu urusi yang lain aja! Ingat! Pameran kali ini ngga boleh kalah!”

***

"Yakin Nay kamu mau nikah sama Vino?"

"Sure, Why not? Dia baik, bukannya dia temanmu?"

"Teman? Mencuri hasil pekerjaanku itu teman? Merusak pameran dekorasiku juga teman? Dia pengacau Nay!"

"Hei, kalian waktu itu kan team, ngga ada kata mencuri karya Ren."

"Aku ngga bisa percaya penuh sama dia. Apapun yang dia kerjakan ngga beres."

"Lalu siapa yang bisa membereskan semuanya?"

"Tentu saja aku, siapa lagi?"

"Pantas saja Vino batal menikahimu, menyedihkan sekali kamu Ren."

"Apa?"

"You're not alone di dunia ini Ren. Kamu juga butuh orang lain. Yang harus kamu tahu, Vino berhasil membuat design undangan cantik untukku."

Rena melihat design undangan Nay dan Vino. Cantik, ucapnya lirih. Aku juga bisa, gumam Rena lagi.


All About Nay
Quote:
If you judge people, you have no time to love them. ~Mother Theresa

Quotenya msuk ngga sih? :uhuk

BeraniCerita #08 : Cangkir Rolie

Credit

Aku membuka bajuku kemudian menggantikannya dengan seragam dinasku. Ku lirik benda yang sejak sebulan yang lalu tersimpan di lokerku. Sebuah cangkir kopi dengan bekas lipsik merah Angelina Rolie. Darimana aku tahu namanya? Tentu saja aku tahu bahkan semua orang pun tahu. Dia artis terkenal itu. Semua filmnya masuk Box Office. Ketika melihat Cangkir itu, aku enggan sekali mencucinya. Bekas lipstik bibir Rolie sungguh mempesona.


Nah, hari ini aku melihatnya lagi. Dia datang dengan gaun ungu yang manis. Tentu saja masih dengan bbir merahnya yang sexi. Dia, tersenyum padaku kemudian mengangkat telunjuk kanannya.


Aku mendekatinya dengan secangkir kopi ditanganku.

"Aku hamil!"

Deg! Bagaimana mungkin? Kakiku tiba-tiba lemas.

"Kamu lupa? Haruskah aku mengingatkanmu tentang malam itu? Bukankah kita sering bercumbu mesra?"

Ha? Rolie? benarkah? Sepertinya baru kemarin aku menyapamu disini. Kenapa secepat ini?

"Mas, kopi saya!" Rulie mengagetkanku.

"Ah iya, ini silakan,"

"Makasih. Sayang, cepat kesini ya, aku tunggu."

Tap. Rulis menutup telfonnya.

"Pelayan!"

Seseorang memanggilku, aku harus kembali bekerja.

[BeraniCerita #07] Si Pendiam yang Aneh

Berani Cerita #07
Ini pertama kalinya aku masuk sekolah baruku. Suasananya sama seperti sekolahku yang dulu, hanya saja aku bingung, dimana bangku kosong? Hei, dia di pojok ruangan dengan laki-laki berkulit pucat disampingnya.

“Boleh aku duduk disini?”

Deg! Dia menatapku. Sorot matanya tajam. Tak banyak bicara, dia hanya menggeser posisi duduknya agar aku bisa duduk di bangku sebelahnya.

"Aku Bella, kamu siapa?"
"Adward."
"Aku siswi baru, mohon bantuannya ya?"

Dia mengangguk tanpa sepatah kata.

***

Sudah seminggu ini aku sebangku dengan Adward. Dia tetap saja sama tidak banyak bicara denganku atau dengan yang lain. Wajahnya pun bersemu merah saat aku menatap dan berbicara padanya tentang pelajaran. Mungkin jika lubang semut bisa menampung tubuh jangkungnya, Adward akan memilih bersembunyi disana daripada harus berbicara dengan orang lain.

Teman sekelas yang lain sepertinya juga enggan berbicara dengan Adward. Kulitnya yang pucat, jarang bicara, wajah bersemu merah. Aku pun mulai curiga, jangan-jangan Adward itu....

Hari tidak begitu terik. Tidak seperti biasa, si Adward kulit pucat memakai kaca mata hitam. Suasana kelas sudah sepi karena jam sekolah telah usai. Aku harus memastikan semuanya.

"Adward, tumben pakai kaca mata,"
"Ada masalah?"
"Tidak. Apa kamu tidak suka matahari?"
"Hei, darimana kamu tahu?"

Aku mendelik, dia menatapku tajam.

"Kamu tahu dari mana?" ulangnya.

Aku ketakutan. Dia memojokkanku di sudut ruangan. Tangan pucatnya menekan dinding. Wajah kami begitu dekat.

"Jawab aku!" perintah Adward dengan sedikit senyuman. Gigi taringnya, aku baru melihat lewat senyumannya itu.

"Aku...."

Ya Tuhan.... Mungkinkah dia sejenis vampire seperti yang ada di film-film itu?

"Jangan bilang siapa-siapa ya?" bisiknya.
"Jadi semua itu benar?"
"Tentu saja. Aku tidak suka Matahari. Bisa kalap cin kalau liat high heels,"