Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.
Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Badut untuk Raisa


Kulirik ruang tamuku. Balon-balon sudah tertata rapi. Hiasan, bunga-bunga semua sesuai dengan permintaan Raisa anak gadisku. Ulang tahun Raisa yang ke delapan ini, semua sesuai kemauannya. Kue dengan tinggi satu meter juga sudah berdiri tegak di sana dengan hiasan kelopak mawar di sekelilingnya. Teman-teman SD Raisa sudah datang. Ke mana anak gadisku ini?


Aku melangkah menuju ke lantai atas rumah. Sudah jam tujuh malam, acara harusnya segera di mulai. Setengah delapan aku harus sampai di cafe. Ada meeting penting yang harus kuhadiri. Raisa, ke mana kau nak?


“Raisa? Di mana kamu sayang?”


Kubuka pintu kamarnya. Ada tumpukan kado dariku di atas meja. Kupandangi sekitar, mencari-cari keberadaannya. Dia sedang berdiri di depan jendela kamarnya yang langsung menghadap ke halaman rumah.


“Raisa, ayo turun. Teman-temanmu sudah datang.” bujukku.


Raisa menggelengkan kepala. Gaun putih panjang membuatnya terlihat manis. Aku telah menyewa piñata rias untuk memoles wajah polosnya yang cantik seperi mamanya.


“Kenapa sayang?”

“Om Badut belum datang, Papa.”

“Sebentar lagi sayang. Papa sudah mengundangnya.”

“Beneran Pa? Ngga bohong kan?”

“Serius. Papa selalu memberikan apapun yang Raisa mau.”

“Asik!” Raisa memelukku senang.


Kulirik arloji di tanganku. Sudah jam tujuh seperempat. Sialan juga badut itu. Badut yang kata Raisa langganan di sekolahnya telah kubayar di muka untuk acara ini. Benar-benar tidak tahu diuntung! Maunya makan duit orang tanpa bekerja.


“Lihat Papa! Om Badut datang!” teriak Raisa kegirangan dan berlari ke luar kamar.


Aku tersentak. Senyum itu, sudah lama sekali aku tidak melihatnya di wajah Raisa. Senyum yang hilang delapan bulan yang lalu setelah kematian mamanya, istriku.

***

Acara ulang tahun di mulai. Semua tamu Raisa sibuk bernyanyi. Si Badut sialan itu ikut memimpin, berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tiup lilin dan potong kue untuk Raisa. Potongan pertama untukku. Potongan ke dua untuk Badut sialan itu. Si Badut menyunggingkan senyum. Aku tahu, dia pasti mengejekku.


Entah sihir apa yang digunakan untuk mengambil hati Raisa putriku. Bisa-bisanya Raisa membandingkan aku dengan Badut sialan itu. Kalau bukan karena Raisa, aku tak akan sudi memanggilnya. Setengah delapan, gara-gara badut itu mungkin aku tidak bisa memenangkan tender.


Buru-buru aku berjalan ke luar rumah tanpa berpamitan dengan Raisa. Aku harus pergi apapun yang terjadi.


“Papa! Mau ke mana?” teriak Raisa dari depan pintu.

“Papa pergi sebentar sayang. Ada pekerjaan penting yang harus Papa selesaikan.”


Kulambaikan tangan sekilas. Raisa cemberut dan masuk ke dalam rumah. Ini demi kamu sayang.


Kulajukan mobilmu dengan kencang. Kucoba menelfon Ana sekretarisku yang sudah standby di café. Kulirik bangku di sampingku. Ke mana tas kerjaku? Berkas itu harusnya aku bawa saat meeting.


Kuhentikan mobilku dan berbalik arah ke rumah. Aku baru ingat, saat pulang kerja tadi, Raisa bersikap manis dan membawakan tasku ke dalam ruang kerjaku. Ya Tuhan, Raisa!


***


Aku berjalan masuk ke dalam rumah. Terhenti mematung melihat Raisa dari depan pintu. Dia tertawa, lebar sangat lebar sampai-sampai memegangi perutnya. Teman Raisa yang lain juga sama, mereka tertawa-tawa karena permainan si Badut sialan itu. Sudah terlalu lama, aku tidak melihat tawa renyah Raisa. Raisa memeluk Badut itu, mengecup pipinya perlahan.


Ada perasaan panas menjalar di dadaku. Rasa yang sulit di jelaskan. Mungkinkah aku cemburu?


“Raisa.” Panggilku.


Raisa menoleh, berlari memelukku.


“Papa! Om Badut lucu sekali.”


Raisa menarik tanganku, mendekatkanku kea rah badut itu.


“Papa belum kenalan kan sama Om Badut? Om Badut ini pintar sekali membuat Raisa tertawa.” cerita Raisa penuh antusias.


Badut itu mengulurkan tangannya. Kusambut uluran itu.


Si Badut kembali bermain dengan Raisa dan anak-anak yang lain. Mereka kembali tertawa, membahana di ruang tamuku.


Aku bertanya, lebih tepatnya bertanya kepada diriku sendiri. Kapan terakhir kali aku membuat Raisa tertawa lepas seperti itu? Membuat Raisa lupa dengan kesedihan, memeluknya, mencium pipinya. Sudah berapa lama aku melewatkannya?


“Pak Ray, maafkan saya.” kata Badut itu menyadarkanku.

“Maafkan saya karena sudah telat datang di ulang tahun Raisa.” katanya lagi.

“Sudahlah. Toh kamu sudah datang.” kataku tak peduli.


Kuperhatikan Raisa yang sibuk menyalami tamunya yang akan pulang. Dia terlihat begitu senang.


“Pulang dari makam saya langsung berdandan kesini Pak. Jadi telat. Sekali lagi maaf.”


Aku menatap badut itu.


“Makam?”

“Iya Pak Ray. Anak saya baru saja meninggal karena kecelakaan lalu lintas.”


Ya Tuhan! Aku mentapnya tak percaya.


“Aku turut berbela sungkawa.”

“Terimakasih Pak Ray.”

Bapak tidak sedih? Harusnya Bapak ijin untuk ini.”

“Sedih? Tentu saja saya sedih. Dia satu-satunya anak lelaki saya. Mau ditangisi, toh dia tidak akan balik lagi Pak. Yang bisa kami lakukan ya legowo, ikhlasin dia di sana. Kalau kita nangisin terus, justru menghambat jalannya di sana. Lagian, Pak Ray sudah bayar saya di muka. Saya tidak tega melihat Raisa sedih. Pak Ray lihat tadi? Semua anak tertawa. Apa jadinya kalau saya ingkar janji?”


Aku terhenyak. Apa yang telah aku lakukan?


“Pak Ray, saya pamit dulu ya?”

“Iya Pak. Aku dan Raisa akan mengantar sampai rumah.”

“Tidak usah repot-repot Pak Ray. Anda dan Raisa sudah terlalu baik kepada keluarga saya. Uang yang Anda berikan kemarin bisa biayai anak-anak sekolah. Terimakasih Pak Ray.”


Kupandangi punggung Badut yang kubilang sial tadi. Dia mendekati Raisa. Berpamitan dan memeluknya sekilas. Bagaimana bisa? Badut yang menurutku sial, ternyata berbalik arah. Dia sedih, tapi masih mampu menghibur orang lain. Sedangkan aku?


Aku masih ingat saat mama Raisa meninggal. Aku terpukul berat. Berhari-hari aku mengurung diri di kamar, mengisi separuh hati yang telah pergi. Rasanya dunia runtuh, tak sanggup lagi kaki berpijak di bumi. Aku bahkan mungkin tak peduli dengan keberadaan Raisa yang juga merasakan kehilangan yang sama.


Dua minggu setelah kepergian mama Raisa, aku menyibukkan diri dengan bekerja. Menghabiskan waktu dengan kerja dan kerja. Aku hanya mengantar Raisa ke sekolah. Aku tak peduli bagaimana penampilannya, kuncir dan kepangan biasanya mamanyalah yang mengurus semuanya. Yang kuingat dan tidak pernah berubah setiap pagi selalu ada secangkir teh di meja seperti yang selalu dilakukan mama Raisa. Mungkinkah Raisa yang menyiapkannya?


Aku mendekati Raisa yang sibuk membuka kadonya. Kupeluk tubuh mungilnya. Aku merindukan Raisa juga mamanya.


“Raisa, maafin Papa ya?”


Raisa berbalik menatapku.


“Memangnya Papa salah apa?”

“Papa tidak memerhatikan kamu. Papa sibuk sendiri.”

“Tidak masalah Papa. Raisa bisa mandiri. Raisa sudah bisa kepang rambut sendiri.”


Aku tersenyum menatapnya. Gadis mungilku.


“Kadonya banyak ya Raisa. Papa boleh minta satu?” godaku.

“Papa mau minta yang mana? Tidak ada yang cocok untuk Papa. Oh iya, kadonya mana Pa?”

“Kado? Bukannya sudah Papa taruh di meja kamar?”

“Kado yang lain Papa!”

“Apa?”

“Mama baru untuk Papa. Biar ada yang ngurusin Papa. Biar Papa tidak sedih lagi.”

Aku terhenyak dengan permintaan Raisa.

“Kan udah ada Raisa yang ngurusin Papa. Terimakasih buat tehnya ya?”

“Sama-sama Papa.” jawabnya seraya mencium pipiku.



PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1

Andra Bukan Andra

Aku baru saja mendudukkan pantatku di bangku saat suara berisik para gadis mengganggu telingaku. Saat ini jam istirahat. Memang menjadi rutinitas yang wajar mendengar jeritan gila mereka.

“Andra!!! I LOVE YOU!!!” kata para gadis yang saling menyahut.

Aku tahu betul, Andra cowok paling popular di sekolah selalu menjadi yang nomor satu. Anak kelas XI itu, wajahnya memang tampan. Tinggi dan otaknya juga tidak terlalu buruk. Apa peduliku dengan dia? Aku di sini untuk belajar, bukan untuk mengejar lelaki. Persetan dengan Andra.

“Nay! Ayo ke lapangan bola!” ajak Tya teman sebangkuku.

“Males, ah!”

“Kak Andra lagi main bola. Kabarnya anak kelas XI tanding sama anak kelas XII.”

“Terus? Gue harus bilang, oh my God!

“Nay! Kamu tolol atau apa sih? Ngasih dukungan dikit kenapa? Bagaimanapun, kamu kan tetangganya.”

Aku nyengir. Yap! Andra memang tetanggaku. Terus, masalah buat kalian semua?

“Aku lebih suka Bale dari pada Andra.”

“Terserah! Bale item aja dilike. Payah!”

Memang, kalau Bale hitam kenapa? Dia ganteng, main sepak bolanya juga bagus. Lagian, sekarang Bale jadi pemain top dunia. Andra! Tidak ada apa-apanya deh.

***

Hari ini aku berangkat lebih pagi. Ada piket pagi ini membuatku harus ekstra untuk menyelesaikan semuanya sebelum anak-anak masuk kelas. Biasanya aku berangkat normal. Suasana sekolah yang sepi, sepertinya memang sangat aman dan menyenangkan.

Aku baru saja selesai membuang sampah ketika tanpa sengaja aku menabarak seseorang. Kubersihkan rokku sambil mengucapkan maaf sebelum aku mendongakkan kepala.

“Andra?”

“Hai Nay!”

“Maaf. Aku ngga sengaja.”

“Ngga papa, Nay.”

“Tumben pagi-pagi sudah datang.”

“Tumben? Setiap hari aku selalu datang lebih pagi, Nay.”

“Masa?”

“Ngga percaya? Besok, kamu boleh kok nebeng motor aku.”

Mataku menyipit, 

No!

Aku meninggalkan Andra yang masih melongo.

“Kenapa?” tanya Andra.

“Males aja!”

Aku terus berjalan tanpa menengok ke belakang. Andra pikir aku bisa segampang itu untuk berboncengan di atas motornya? Memperhatikan punggungnya, mencium aroma parfumnya. Memeluk tubuh kekarnya? Ih No! Ah! Aku bukan perempuan gampangan. Membiarkan Andra mendekat, itu sama artinya mempersilakan diri sendiri masuk ke dalam kandang buaya. 

***
Masih seperti hari yang kemarin-kemarin. Teriakan demi teriakan menggema memanggil nama Andra. Aku berjalan menuju perpustakaan dan menoleh ke arah lapangan. Andra tersenyum lebar saat mata kami saling bertemu. Hei! Mungkin saja bukan tersenyum ke arahku. Aku saja yang kege-er-an. Aku melirik ke samping kanan dan kiriku. Tidak ada orang. Dasar Andra!!!

***
Aku meraba laci mejaku. Tidak ada. Aku membuka tas ranselku, juga tidak ada. Kemana buku tugasku? Ya Tuhan! Banyak tugas yang kukerjakan dan kucatat di sana. Bagaimana ini? Mana hari ini ada tugas yang harus dikumpulkan lagi.

“Tya, kamu tahu ngga buku tugasku?”

“Buku tugas? Yang bagaimana? Warnanya apa Nay? Hello Kitty atau yang gambar Bale?”

“Yang biru muda itu lho. Polos. Biasanya aku buat ngerjain tugas.”

“Kemarin bukannya kamu bawa ke perpustakaan?”

“Iya, yang itu.”

“Bentar-bentar. Kayanya kemarin Andra bilang dia nemuin buku di perpustakaan.”

“Andra?”

“Iya Andra.”

Sial! Pantas saja dari kemarin dia senyam-senyum tak tentu. Ternyata ini tujuan utamanya? Mengambil bukuku kemudian tidak mengembalikannya. Rumah beda satu gang saja tidak mau mengembalikan. Jangan-jangan, ini hanya alat agar aku mau berangkat bareng saat ke sekolah. No!

Aku bangkit dari tempat dudukku kemudian melenggang pergi.

“Mau kemana, Nay?” tanya Tya.

“Mau ngasih pelajaran buat Andra!”

“Lho? Kok? Nay, tunggu…!”

Jarak dari kelasku menuju lapangan bola cukup jauh. Aku berlari menuju lapangan bola di mana Andra sedang bermain bola. Rasanya panas, mengingat kelicikan yang dia lakukan. Aku bukan perempuan gampangan! Andra harus mencatat itu dalam otak tololnya.

“Andra!” teriakku. Aku berjalan ke tengah lapangan.

Andra menoleh, permainan berhenti. Semua mata melihatku.

“Ada apa, Nay?”

“Ada apa? Sini balikin bukuku!”

“Buku? Buku apa?”

“Buku tugasku. Aku tahu, ini pasti rencana jahatmu. Cepetan balikin!”

“Rencana jahat apa coba? Buku yang kamu maksud, buku apa?”

“Sudah, jangan banyak mulut! Dasar buaya!”

Andra memandangku tak mengerti. Kuayunkan kepalan tanganku pada perutnya. Aku melenggang pergi dan semua orang menyerbu Andra. Jeritan demi jeritan menggema.

“Hei! Anak kelas X! Lu kok berani-beraninya buat malu Andra? Pake nonjok segala lagi!” kata teman sekelas sekaligus fans Andra.

“Bodo amat!” kataku berjalan menjauh.

Andra! Ini belum ada apa-apanya.

“Nay!” teriak Tya.

“Apa?”

“Aku panggil ngga nyaut-nyaut. Kamu tadi ngapain di lapangan? Kok jadi ribut kaya gitu? Heboh banget deh! Kamu tadi nendang bola ke gawang?”

“Aku habis ngasih pelajaran sama si Andra! Pake tinju maut!”

“Ha?”

“Kok ha, sih?”

“Emang, Kak Andra ngapain kamu? Dia macem-macem sama kamu? Harusnya kamu bersyukur Nay, bisa diapa-apain sama Kak Andra!”

“Gila!”

“Kok gila?”

“Katamu dia yang nemu bukuku? Dia ngga mau balikin, aku labrak aja! Pake ini!” kuperlihatkan kepalan tanganku pada Tya.

Oh my God, Nay!  Bukan Kak Andra!”

“Ha?”

“Andra anak X 5 Bukan Kak Andra!”

“Jadi, Andra bukan Andra?”

“Kamu sih! Aku tadi kan belum selesai ngomong!”

“Ah, what ever. Sudah terlanjur!”

Ya Tuhan! Bagimana ini? Nasi sudah jadi bubur. Andra sudah terlanjur malu. Aku tidak mungkin lagi mencabut kata-kata yang sudah keluar tanpa permisi saat di lapangan tadi. Tonjokkan itu, pasti sangat sakit! Gila! Mimpi apa aku ini? Kok bisa sih salah mengira? Padahal pelajaran mentaksir waktu Pramuka nilainya bagus.

Jam masuk berbunyi. Aku kembali ke kelas dan mendapati buku tugasku di atas meja. Aku memandang dan menyentuhnya tak percaya.

“Andra, anak kelas X 5 tadi yang balikin.” kata Tya.

Aku beringsut di atas meja. Bodoh! Bodoh! Bodoh!

***

Langit mendung semendung hatiku. Aku masih belum bisa memaafkan diriku dengan insiden penonjokkan Andra di lapangan bola tadi. Semua mata memandang sinis ke arahku. Sialnya, pendukung Andra terlalu banyak. Mereka bisa-bisa datang ke kelas hanya untuk marah-marah padaku. Itu saja kalau di sekolah. Bagaimana kalau mereka membuntutiku dan mendapati rumahku berdekatan dengan rumah Andra? Bisa mati mendadak aku. Aku bukan siapa-siapa di sini. Mungkin aku akan meringkuk di dalam kelas sampai siswa-siswi lain pulang. Gila! Aku ketakutan.

Langit meneteskan air matanya. Mungkin dia juga merasa sedih sama dengan yang kurasa. Ah! Itu hanya alasanku saja. Hanya sebuah pembelaan bodoh. Mencari pertolongan pada siapa lagi selain pada Tuhan?

Aku berdiri mematung di teras depan gerbang sekolah. Sendiri. Sebenarnya masih ada satu dua anak yang ke sana ke mari di saat hujan lebat seperti ini. Setidaknya, mereka bukan fans Andra. Paling tidak, aku bisa aman untuk hari ini. Entah untuk hari esok.

"Belum pulang, Nay?"

Jantungku berpacu, siapa yang memanggilku? Aku menengok, sepertinya,

"Andra?"

"Iya, ini aku. Kenapa Nay?"

"Kok kamu belum pulang?"

"Kok  balik  nanya, sih? Aku tadi ketiduran di UKS. Perutku sakit. Rasanya melilit-lilit bagaimana gitu."

"Sakit? Pasti gara-gara tonjokkanku tadi ya? Maaf ya? Sekarang apa masih sakit?"

"Iya aku maafin. Tapi, masih terasa sakit, Nay."

"Sebelah mana? Mana yang sakit?"

Aku meraba lengan kiri Andra tapi tangan kanannya menghentikanku. Mata kami bertemu. Dia memandangku sambil menggenggam tanganku lalu di letakkan di dada kirinya. Jantungnya berdetak hebat membuat nafasku sesak.

"Sebelah sini, jauh lebih sakit, Nay!"

"Di sini? Jantung? Kamu sakit jantung?"

"Bukan, Nay. Hatiku yang sakit."

"Hati? Bukannya hati di sini?" kutarik tanganku dan menunjukkan letak hati di perut kananku.

"Pokoknya sakit, Nay!"

"Bodo amat. Aku mau pulang!"

"Jangan!"

Andra meraih tanganku.

“Jangan pergi, Nay,” pintanya. Aku memandang mata coklatnya yang teduh.

“Jangan pergi dari hatiku.” sambung Andra.

“Sinting!”

Andra menarikku, memenjarakanku dalam dadanya yang hangat.

“Aku memang sinting, Nay. Semua karena kamu.”

“Lepaskan, Andra!” kataku meronta.

“Kadang pembalasan jauh lebih kejam, Nay.”

“Lakukan apa pun yang kamu mau! Biar puas sekalian!”

“Kamu yakin?” kata Andra menghadapkan wajahku ke wajahnya.

“Tentu saja. Memang kamu mau apa?”

“Aku mau ini!” 

Andra semakin mendekatkan wajahnya. Aku kaget, tak siap dengan serangannya yang tiba-tiba hanya bisa memejamkan mata. Ya Tuhan! Tolong aku! Semoga ini bukanlah hal yang buruk. Aku merapal doa, membiarkan bibirku komat-kamit.

Satu, dua, tiga detik hingga satu menit berlalu. Andra melepaskan tubuhku. Kubuka mata perlahan. Dia tersenyum memandangku.

“Apa kata Ibumu nanti kalau sampai aku menciummu tanpa permisi? Lagian, apa kata fansku kalau perempuan yang meninju perutku malah dapat ciuman? Bisa-bisa mereka ikutan meninjuku lagi!” katanya terkekeh.

Wajahku panas. Mungkin kini berubah menjadi merah gara-gara sindiran Andra itu.

“Ayo pulang, Nay!”

Aku mengangguk mengiyakan ajakan Andra. Dia menarik tanganku, menggenggamnya lembut. Merasakan getaran hangat yang menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubunku.

“Langit kok masih mendung aja ya? Padahal hujan sudah reda.” ucap Andra.

“Langitnya cerah kok.”

“Cerah dari mana, Nay? Mendung gini!”

“Cerah kok. Suer!”

“Kamu lihat langit yang mana sih?” tanya Andra memandang wajahku.

“Itu, di situ. Langit di matamu cerah banget!” jawabku tersipu.

****

Love at School @AlamGuntur

Valentin Untuk Nay

“Gue jabanin apa pun challenge yang lu kasih,” ucap gue pada Tya
“Yakin nih? Gue yakin Nay, lu pasti kalah ngadepin callenge pilihan gue ini,” jawab Tya meyakinkan dengan pedenya.

Tya masih senyam-senyum mikirin challege yang akan kite lakuin. Kemarin, gue kalah lantaran ngga mampu dapet nilai bahasa Inggris di atas angka 80. See, Tya dengan pede mamerin nilai 85 di depan muke gue. Akhirnye pun die berhak nentuin challenge musim febuari ini.

“Oke Nay, pulang sekolah gue kasih tau challege yang akan kite lakuin. Gue tunggu lu di perpus,” 
“Oke,”

Tya, teman seperjuangan gue yang sama gilanye. Die memang temen yang diciptakan Tuhan buat jadi rival abadi gue. Dari orok gue sama dia udeh sering ngadain challenge yang bise dibilang ngga terlalu penting tapi ngasyikkin. Challenge yang kite lakuin mulai dari manjat pohon, nguber layangan putus, coret-coret tembok tetangge, nongkrongin kuburan malam hari, lomba makan sambel, ngumpulin poin hukuman karena telat, sampe nilai ulangan tertinggi pun kena juge :uhuk 


Gara-gara kegilaan gue sama Tya, mpok gue Jiah sering ngamuk-ngamuk sambil ngasah golok milik Babeh. Mpok Jiah berang tiap kali ade tetangge lapor soal tembok rumahnye yang gue ancurin, penjaga kuburan yang ngambek gara-gara kerandanye gue umpetin padahal gue cuma numpang tidur doang di kerande tuh. Oh iye, gare-gare challenge telat itu, gue juge dapet surat peringatan dari sekoleh. Hahah, bagusnye gue menang dalam tuh challenge meski harus ngorbanin Mpok gue yang baiknye ngga ade yang nandingin :wek :shy


Gue udah standby disalah satu kursi perpus. Perpus sekoleh memang masih buke sampe jam empat sore. Tapi kok ya tumben si Tya ngajak janjiannye di perpus. Biasanye di warung baksonye bang Jamal. Wah mencurigakan banget nih cewek satu. 


"Hoe!!! bengong aje lu Nay," ucap Tya ngagetin
"Ah lu lama amat sih, gue sampe kelaperan tau,"
"Ahah, maap tadi gue ade panggilan alam heheh,"
"Udeh jangan basa-basi, jadi challenge kite ape? Ini bukan aksi nyuri buku kan? Ingat, kite pantang buat nyuri,"
"Sante aja Nay, ini emang aksi nyuri kok,"
"Ape?" teriak gue. Buru-buru gue tutup mulut lantaran beberape siswe same guru jage mlototin gue. Sementara Tya cekikikan liat gue yang panik

"Ogah ah, itu nglanggar agame tau," bisik gue pada Tya
"Mlanggar apenye? Gue belom selese ngomong kali Nay,"
"Trus maksudnye nyuri itu ape?"
"Liat tuh orang, lu perhatiin baek-baek,"

Gue nengok ke arah yang Tya tunjukkin. Bused dah! Gue pelototin tuh orang sekali lagi. Ah, Tya udeh gile.

"Ngga salah nih? Ape yang bise di curi dari die? Otaknye yang encer itu? Jangan cari masaleh deh,"
"Kita nyuri hatinye, brani ngga Nay?"
"Ape? Nyuri hatinye? Die kite bunuh trus dibedah hatinye gitu? Wah, sadis lu,"
"Lu tu yang kepikiran jelek, ngga hatinye die tapi hati sodaranye,"
"Sodare? Vino? Ah same aje,"
"Aish, lu beo sih,"
"Beo-beo, kutilang,"
"Teri,"
"Hiu, jadi challenge mancing aje deh,"
"Ogah, salah satu dari kite harus bisa nyuri hatinye Vino buat diajak ke prom ntar pas Valentine's day, gimane? Oke kan?"
"Jadi cople gitu?"
"Yap,"
"Lha kok yang lu tunjuk si die?"
"Die? Gue yakin, lu tuh ngga brani langsung bilang sama Vino, makanye gue kasih saran buat lu deketin kakaknye dulu biar tau seluk beluk si Vino,"
"Strategi lu kok di bocorin, emang lu punya strategi laen?"
"Ah, gue mah gampang. Deal ye?"
"Oke deal," jawab gue sambil jabat tangan Tya
"Good luck ye Nay. Gue yakin pasti lu bisa,"

Tya ngelonyor pergi ninggalin gue. Ih tuh anak aneh. Sasarannye Vino kenape die nyuruh gue deketin kakaknye coba? Reza Rahardian, kakaknye Vino Bastian makhluk populer di SMA gue. Keduanye same-same populer tapi dalam bidang yang berbeda. Vino populer sama basketnye dan Reza sama otak encernye. Vino seangkatan same gue kelas XI dan Reza kelas XII.


Keduanye memang same-same ganteng tapi jauh beda. Vino lebih ramah sementare Reza angker, horor banget dah. Tatapan matanye tajem tanpa ekspresi, jarang senyum. Pernah gue ngga sengaje adu pandang sama dia, dug rasanye nusuk banget dah, suerrr :peace . Mungkin kalo ade setan ato demit yang liat Reza, pasti mereka pade kabur. Yah, Reza is hororr guy.

***

Misi hari ini, gue harus bisea ngomong sama Reza. Gue clingukan takut kalo ade siswi lain yang liat gue lagi ngamatin Reza di pojokan perpus. Gue harus nyusun strategi dan gue mulai ambil buku matematika sape tau ade rumus yang bise di pake. Misalnye rumus peluang, ah atau rumus fisikanye daye tarik magnet aje ye? Hah, apa-apaan gue ini? Harus gimane gue ini? Ngga ade satu pun cewek yang brani deket sama Reza, lha ini kok gue malah, ah...

"Perpus bukan tempatnya tidur, ngga guna banget kamu disini,"

Gue yang sejak dari tadi benamin kepale di atas meja langsung saje ngangkat kepale liat makhluk yang berani negur gue. Bused dah, Reza.

"Ah anu, gue ngga tidur kok. Reza kan? Gue Nay," ucap gue mengulurin tangan
"Aku tau, Nay yang beberapa bulan hobi banget telat kan?" jawab Reza ngga hirauin tangan gue

Gue tarik tangan mulus gue itu sambil manyunin muka.

"Gue terkenal banget yah? Sampe seorang Reza tau kebiasaan gue,"
"Di dunia ini, apa sih yang ngga aku tau?"
"Vino, lu pasti tau kan? Lu kan sodaranye,"
"Vino? tentu saja,"
"Jadi, bise bantuin gue?"
"Atas dasar apa kamu minta bantuan? Apa untungnya buatku?"
"Untung?"
"Iya, berdasarkan prinsip ekonomi, setiap apa yang kita keluarkan harus menguntungkan. Jadi kalo aku bantu kamu, kamu bisa kasih apa?"
"Eh bused, matre juge lu," ucap gue geleng-geleng kepale
"Kesempatan cuma datang satu kali, gimana?"
"Oke, deal. Gue kasih ape pun yang lu mau asal ngga langgar norma-norma agame ame hukum yang berlaku,"
"Oke deal," Reza nyalamin tangan gue. Dug! Anget juge tangannye #eh
"Jadi, lu minta ape?"
"Menurut aturan yang berlaku, kita harus mengerjakan kewajiban baru bisa menuntut hak. Jadi hakku akan ku ambil saat misimu sudah selesai,"
"Sebenernye lu ini jualan ye? Dari tadi ngomongin untung rugi, hak kewajiban. Yah sudahlah, jadi Vino itu punye kebiasaan ape aje?"
"Hey, tenang aja kali. Santai, semua bisa diatur. Besok pulang sekolah aku tunggu disini, jangan ngaret,"
"Oke,"

Jeduk!!! Kepala gue natap meja. Eh, tadi gue mimpi ape bukan? Perasaan tadi gue ngomong banyak sama Reza. Gue tengok ke kanan kiri, Reza masih duduk di pojokan sama buku-bukunye. Ah, ternyate gue cuma mimpi.

***

Gue ngendap-ngendap kaya maling buntutin Reza. Terhitung udah dua hari ini gue kaya gitu. Mau nyapa, tapi mukanye horor. Mau deket takut-takut salah paham. Jadi terpakase gue jadi stalker keren kaya gini.


Gue baru tau kalo Reza tiap pulang selalu naik Bus. Mampir di Warung Blogger sebuah warung kopi kecil yang katanye enak. Gue sendiri sih belum pernah mampir disane lha wong arah rumah gue dan Reza kan beda. Jadinye ini gue bela-belain muter arah demi deketin si Reza.


Gue sedikit kaget waktu ketangkap basah sama mate Elangnye Reza. Gue malu :shy tapi gue harus tetep Pede.

"Kamu Nay kan?"
"Kok lu tau? Lu buntutin gue ye?"
"Bukannya kamu? Sudah tertangkap basah, masih saja tidak mau mengaku,"
"Gue? Nggak lah. Mane mungkin? Ape buktinye?"
"Kalau begitu minggir, aku mau lewat. Jangan mengikutiku lagi,"
"Eh, eh tunggu dulu. Gue minte bantuan dikit ye? Please"
"Aku tidak ada waktu mengurusi hal-hal tidak penting, jadi menyingkirlah dari hadapanku,"
"Ah... Aku nggak mau putus. Sayang, maafin aku yah," ucap gue sok-sokan merengek sambil memegangi lengan Reza.
"Nay, kamu apa-apaan sih?"
"Pokoknya aku nggak mau putus, bapak ibu mas mbak tante tolong bilangin sama pacarku ini," ucap gue memelas.
"Sudahlah nak, baiknya masalah kalian dibicarakan dulu," ucap pemilik warung
"Iya nak, liat tuh air mata pacarmu. Coba bayangkan kalau ibu kamu yang menangis seperti itu," tambah ibu-ibu yang duduk di samping Reza.
"Maaf sudah merepotkan, kami akan bicarakan hal ini secara baik-baik," ucap Reza sambil narik tangan gue lalu pergi ninggalin warung kecil itu.


Ah yes, senangnye hati gue. Akting gue berhasil hihihi. Wah, muka Reza kenape mendadak jadi merah gitu ye? :shy


"Mau kamu apa sih Nay? Sudah puas bikin aku malu seperti tadi?"
"Maaf Za, gue ngga maksud ape-ape kok. Gue cume mau tahu tentang Vino,"
"Vino? Apa hubungannya sama aku? Kalau kamu ingin tahu dia, kenapa tidak tanya dia sendiri saja? Bukankah jauh lebih hemat energi?"
"Heh, iya juga ye. Tapi-tapi, gue kan udah terlanjur Za. Jadi tipe cewek yang disukai Vino itu kaye siape?"
"Marsya, liat saja dia. Sudahkan? Jangan mengikutiku lagi,"


Gue melongo, Reza ngomong keras banget. Ape die marah? Hah, ape gue udah keterlaluan ye? Ah, what should i do?

***

Dua hari ini gue bengong ngga tentu. Gue masih kepikiran Reza yang kayaknye marah. Gue masih buntutin die di perpus, di warung blogger pokoknye dimane aje. Eh tapi, harusnye gue kan mikirin Vino. Deadline udah mepet Valentine tapi gue sama sekali belum nyusun strategi buat ngajak Vino ke prom. Gue liat si Tya sante gila. Ape mungkin karena die lumayan cantik kaya Marsya makanye die sante aje? Ah Marsya, mana mungkin gue bisa kaya lu? Cewek feminim nan cantik. Gue beringsut di atas meja, gue bakalan kalah ini.


Kayanye gue udah ngga waras. Gue masih jadi stalker keren buat Reza. Hello Nay? Harusnye lu mikirin Vino bukan Reza. H-3 menuju Valentine's day. Gue beneran pusing ini. Gue harus kirim 'Amplop Merah Jambu' buat Vino. Ini ngga boleh ditunde.


Lagi-lagi gue ngendap-ngendap buat ngasih 'Amplop Merah Jambu' ke Vino. Surat ala kadarnye yang gue tulis semaleman khusus buat Vino. What ever lah, penting gue usaha. Vino pun menyunggingin senyum termanis yang belum pernah gue liat. Ah, sepertinye 'Amplop Merah Jambu'  itu ngga terlalu buruk :uhuk

***

Gue bengong sendiri di malam valentine ini. Ngga tau deh muka ini dah kaya ape, bawaannye pengen nangis :hwa tapi ngga tau yang ditangisi itu ape :hwa . Kemarin gue liat Tya cengar cengir sama si Vino. See, gue gagal tapi gue ngga sedih. Gue cuma heran, gue kangen buntutin si Reza :hiks


"Nay, tuh ada yang nyariin," ucap mpok Jiah
"Siape Mpok?"
"Liat aja ndiri, cakep tuh"
"Ape?"


Gue pun beranjak dari kasur buat liatin hidung siape yang berani datengin gue malem-malem gini. Jangan-jangan si Jelangkung yang minta dianterin pulang ke sarangnye :omg . Gue ucek-ucek nih mate buat mastiin siape yang dateng. Mukanye ngga keliatan beuh, makin merinding aje gue ini. Untung aje tuh punggung ngga berlubang macam sundel bolong. Hai lu, balik badan dong :uhuk


"Malam Nay, aku ganggu tidak?"
"Ngg ngga sih. Kok lu tumbenan kesini?" ucap gue agak meragu bercampur haru :hwa
"Pengen aja sih, tidak boleh ya?"
"Hmm boleh kok. Silakan duduk, ngga pape ye cuma di teras doang,"
"Aku sih pengennya ngajak kamu keluar, mau tidak?"
"Keluar? Ke prom ye? Ah ngga useh, gue ngga punye gaun,"
"GeEr lu Nay, siapa juga yang mau ke prom? Cuma ke warung sebentar kok sambil makan,"
"Eh gitu ye? Gue pamit dulu sama Mpok Jiah baru kita let's go,"
"Okey,"


Setelah pamitan, gue ngikut Reza pake motornye. Ya Allah... Nyak, Babeh, Mpok, Tya, Vino kok bisa sih si Reza boncengin gue. Gue pasrah deh mau diajakin makan dimane aje :smile


"He? Makan disini? Balik aje deh, saltum ini mah,"
"Tidak apa-apa Nay, biarin aja,"
"Sandal jepit, rok di bawah lutut, kaos kucel, ape kate orang?"
"Percaya sama aku," ucap Reza sembari mengulurin tangannye.


Gue nerima uluran tangan Reza. Kayaknye jadi Si Tampan dan Si Kumel deh. Gue yang kucel dan Reza yang rapi sama kemeja kotak-kotaknye [dia bukan pendukung Jokowi - Ahok :wek ]. Kite duduk di sebuah meja yang kece abis. Maksudnye ape ini? Wah gue ngga mampu bayar ini.


"Kenapa Nay?"
"Kenape? Ini restoran mewah Za. Pasti makanannye mahal. Bangkrut kalo gini. Gue ngga bawa duit banyak,"
"Kan aku yang ngajak, berarti aku yang bayar,"
"Tapi kan..."
"Sudahlah. Oh iya, aku mau ngomong sesuatu,"
"Gue dulu aje ye? Gue mau minta maaf soal yang kemarin-kemarin. Gue ngga ade niat buat ganggu lu. Suer :peace "
"Udah ngga papa. Ada yang lain?"
"Oh iye, gue ngga apal lagunye Syahrini yang 'Sesuatu' itu, jadi jangan ngomongin sesuatu ye,"
"Hah, kamu memang lucu Nay. Siapa juga yang mau nyanyi? Aku cuma mau bilang, kita jangan putus ya"
"Ha? Putus? Yah ngga lah, kite ngga akan putus. Eh emang kapan kite jadian?"
"Baru saja kan?"
"Hah? Kapan?"


Belum selesai gue nyerna perkataan Reza, tiba-tiba suara berisik ngagetin gue.


"Ciye si Nay, jadian ciye-ciye," seloroh Tya yang tiba-tiba dateng dari belakang gue
"Eh, kok lu disini? Bukannye ke prom?"
"Ciye si Nay jadi Kakak ipar gue," ucap Vino yang lagi-lagi bikin gue kaget
"Jangan-jangan kalian sekongkol ye? Kok datengnye bise barengan gitu?"
"Gimane Nay misi gue? Berhasilkan? Gue mesti dapet piala nih," ucap Tya
"Lu ngindur? Bukannye gue gagal? Gue kan ngga berhasil ngajakin si kutu Vino ini ke prom?"
"Ih Nay, kok gue di bilang kutu sih? Bang Reza, cubitin nih pacar lu,"


Gue natap Reza, dia cuma senyum lihat kelakuan ajaib gue, Vino sama Tya.


"Gue berhasil lagi Nay. Berhasil bikin Reza ngakuin kalo die suka sama lu. Gue emang Mak Comblang keren :uhuk "
"Ape? Gue ngga salah denger?"
"Oh iya, surat lu udah tak kasih ke bang Reza? Gue bacain aja ya? Masih di kantongin tuh,"

Gue coba nyegah Vino, tapi gagal. Die pun berdiri kaya Sang Proklamator saat bacain Teks Proklamasi.

Assalamu'alaikum

Hai Vin, gue Nay. Lu tau kan siape gue? To the poin aje yeh. Gue tuh mau ngajakin lu ke prom di malem Valentine, lu mau ngga? Eh tapi, kayaknye ngga usah deh soalnye gue ngga punya gaun pesta. Tapi ye Vin, abang lu si Reza tuh kenape ya? Marah sama gue? Gue bingung deh. Emang tipe cewek abang lu kaya siape sih?

Wassalam

Nay Manis

Wah~ Gue malu gile :shy . Mana si Reza cuma senyum-senyum doang lagi.

"Nay, aku suka sama kamu. Ini valentine buat kamu dan juga selamat ulang tahun yah, semoga hari-harimu semakin indah terlebih sekarang aku ada disampingmu :luph " ucap Reza sambil megangin tangan gue

Ya Allah, rasanye gue meleleh denger ucapan Reza itu. Makasih Reza, Tya and Vino yang berhasil buat gue berbunge-bunge. Bagi gue ini adalah valentine sama ulang tahun terindah. Cinte, kadang dateng ngga pernah terduge. Cinta dateng seiring berjalannye waktu. Rasanye bintang malam pun iri sama keadaan gue ini. Terimakasih cinte :luph

The End~

Notes :
Alhamdulillah akhirnya selesai juga. Ngga nyangka ceritanya bakal sepanjang rel kereta api antara Jakarta dan Jepara :uhuk . Itu sudah mirip Betawi-Betawian belum yah? :smile . Maaf kalau ada kata-kata yang kurang mengena dengan bahasa Betawinya. Ampun deh buat nulis Betawi. Tapi aku tetep nekat aja buat pakai bahasa Betawi :uhuk . 


Selamat ulang tahun buat Adikku Nay Belo [Biar dia merasa lebih mudah :uhuk lagian tanggal lahirku juga sebelum si mbak satu ini :wek] yang ke 17 + :smile . Semoga usianya tambah barokah dan sukses selalu dalam menggapai apa yang Mbak Nay impikan. Biar kata kita belum pernah kopdar semoga itu ngga akan menjadi masalah yang berarti. Di tunggu novelnya yah? :uhuk

Ciderella's Stepsister

Rasanya seperti mimpi saat aku berdiri di bawah pohon dekat patung Winter Sonata. Nami Island, tadinya aku pikir aku tidak akan pernah kesini. Tapi nyatanya? Aku disini, yah aku disini. Semua itu karena ehem Mimi. Kau tahu siapa Mimi? Dia itu makhluk yang diciptakan Tuhan seperti Ciderella dan aku Stepsisternya.


Harusnya, dimana-mana cerita Ciderella itu adalah seorang yang teraniaya. Tapi dalam kehidupan real, justru aku stepsisternya yang teraniaya :hwa . Kau tahu? Ini benar-benar kisah dramatis yang sangat mengaharukan :hwa . Seorang Nay teraniaya oleh Mimi si Cinderella.


Aku seorang Nay, kalah populer sama Mimi. Aku sadar betul, aku memang terlalu banyak kekurangan. Bahkan untuk membiasakan diri berkata aku-kamu aku harus privat sama Mimi. Mau bagaimana lagi? Aku memang terlahir dari tanah Betawi yang kental dengan bahasanya, sedangkan Mimi lahir dari tanah Jambi tapi blasteran Inggris. Wajarlah kalau bahasa Mimi lebih bagus ketimbang bahasaku.


Kau pernah nonton film india Dil Hai Tumhara? Iya disana ada Nimmi, 11-12 dengan Mimi kakak Shalu yang selalu baik hati. Mimi selalu bangga jika film itu diputar berulang-ulang. Rasanya aku ingin muntah tiap kali Mimi memuji dirinya sendiri. Kalau sudah setres begitu, biasanya aku ikut lari ngejar layangan putus, itu pun kalau ada.


Yah, sekarang aku di Korea itu semua karena Mimi. Mimi yang teramat ‘baik hati’ mengajakku masuk salah satu Universitas di Korea. Awalnya aku menolak lantaran bahasa Koreaku yang masih teramat kacau. Tapi, Tya sahabatku memotivasi agar aku menyetujui tawaran Mimi. Apalagi disana ada sosok Hyun Bin :luph . Aku benar-benar tergila-gila dengannya.


Kau tahu Hyun Bin kan? Kata Tya, dia masih ada hubungan saudara dengan Hyun Bin  Coba bayangkan jika aku bertemu dengannya, satu universitas, satu kelas waaa~ Pasti sangat menyenangkan :smile


Hari ini pun, di Nami Island aku sedang menunggu Hyun Bin.  Tya, 'Bu Pos' yang baik hati mengabarkan bahwa Hyun Bin ingin bertemu denganku. Aku jadi malu sendiri :shy , jangan-jangan Tya benar mengadu bahwa aku menaruh perhatian padanya :uhuk


“Hai Nay,sudah lama menunggu?”
“Ah Oppa,”

~Back song~

Sekian lama
Aku menunggu
Untuk kedatangganmu


“Ah tidak, aku baru saja disini,” jawabku sedikit berbohong
“Baguslah, aku kira kamu sudah lama disini,”
“Yah kalopun lame, gue pun rela Bin nungguin lu, ups” Aku menutup mulutku yang keceplosan menggunakan bahasa Betawi.
“Kamu bicara apa Nay? Apa itu termasuk bahasa Alay ciyus miapah yang kemarin dibicarakan oleh Lee Seung Gi?”
“Ah bukan, itu tadi bahasa Betawi asli Indonesia. Harap maklum ya Bin, aku tuh masih sedikit sulit kalau bicara menggunakan bahasa Korea seperti ini,”

Hyun Bin hanya tersenyum mendengar pengakuan polosku. Sebenarnya aku malu jika terus keceplosan menggunakan logat Betawi saat berbicara dengannya. Mau bagaimana lagi? Aku benar grogi dan jika sudah seperti ini, semua logat asliku keluar tanpa permisi :uhuk


"Nay, aku ingin bicara serius,"
"Bicara saja, aku siap mendengarkannya,"


Ya Allah, Hyun Bin Oppa mau mengutarakan perasaannya padaku :smile


“Begini Nay, aku tahu kamu punya perasaan khusus untukku dan aku pun begitu...”
“Jadi kamu juga suka aku?” potongku
“Iya begitulah,”
“Ya Allah... Enyak Babeh, Hyun Bin jadi pacar gue ini mah,”
“Nay? Kamu bicara apalagi?
“Ah tidak apa-apa, ini cuma ekspresi kegembiraan” :smile
“Aku suka kamu sebagai adik Nay soalnya aku dan Mimi sudah jadian,”
“Apa?” :omg
“Mimi belum memberitahukannya? Mungkin dia butuh waktu yang tepat untuk menjelaskan semua ini,”
“Oppa tidak salah pilih? Kenapa harus Mimi?”
“Harusnya kamu senang dong Nay karena aku jadian sama Mimi. Mimi itu gadis yang hebat,”
“Masalahnye, gue kagak rela sama sekali lu jadian sama Mimi. Sakit hati gua ini” :hwa
“Kamu bicara apalagi Nay?”
“Ah bukan apa-apa,”
“Bayangkan Nay, Mimi rela menolak cinta Taeyang, Jung Young Hwa, Micky Yoochun, Lee Min Ho, Shahrukh Khan, Rio Dewanto yang katanya ganteng semena-mena cuma demi aku. Yang lebih heboh lagi Nay, Mimi juga naik tower Universitas sambil berkata ‘Hyun Bin Oppa, Sarang Haeyo’ so sweet banget kan Nay?” :luph



“Ah so sweet apanye? Norak itu mah,”
“Ah kamu itu Nay, kenapa selalu logat itu yang kamu keluarkan?”
“Lho? Memangnya kenapa? Masalah buat kamu?”
“Ya jelaslah Nay. Ini perbedaan terbesar antara kamu dan Mimi. Aku itu sering kali bingung jika bahasa planetmu keluar tanpa henti, beda sekali dengan Mimi. Bahasanya sangat bisa dimengerti dan yang pasti dia selalu bisa membuatku tersenyum,” :smile
“Ah, emang dasar lu berdua ‘Freak Cople’”
“Nay lihat, itu Mimi dan Tya sudah datang,”


Aku menoleh melihat kearah yang ditunjukkan Hyun Bin Oppa. Benar, disana ada Mimi, Tya dan pacarnya. Wah~ nyesek banget ini mah :hiks . Perlahan mereka mendekat. Cerita romantis, Kissing Under Cherry Blossom :calm is nothing  :waduh


“Oppa, Nay buat kacau tidak?” ucap Mimi
“Tidak, dia jadi adik yang baik kok,”

Apa-apaan mereka ini? Pamer kemesraan? Tya hanya nyengir sambil mengisyaratkan kata maaf :peace

“Oppa, kakiku pegal nih,” rengek Mimi
“Duduklah, biar aku pijitin kakimu,” jawab Hyun Bin malu-malu

Perlahan Mimi duduk dan Hyun Bin pun membuka sepatu Mimi. OMG :omg Mimi mamerin kaos kaki yang bergambar Hyun Bin. Haduh-haduh, bener-bener nyesek hatiku ini :hiks


Aku berjalan menjauh dari mereka. Tak tahulah rasanya hati ini seperti apa. Kenapa harus Mimi yang jadi Cinderellanya? Kenapa bukan aku? Ah sudahlah, mungkin Hyun Bin memang bukan jodohku tapi jodohnya Mimi :etc


Note :
Cerita ini hanyalah fiktif dan rekayasa belaka. Bila ada nama tempat yang sama itu adalah unsur kesengajaan dari penulisnya :wek . Cerita fiktif kacau ini aku hadiahkan buat Mimi Arie seorang :uhuk . Maaf ya Mi, aku ngga bisa ngasih apa-apa dihari ulang tahunmu :smile . Maaf juga buat nama-nama yang tercantum yang sudah tak  jadiin kambing shaun hihihi :peace
Oh iya, fotonya itu ngambil dari FB sama blognya Mimi. Kalau mau, cari sendiri yah :wek

All About Nay

Gua berkaca, ternyata gua sangat amat ganteng hahaha. Setelah sekian lama gua tinggal di negeri seberang, hari ini gua akan jalan-jalan di Batavia tercinta ini. Yang menjadi tourguide gua kali ini so pasti Tya, adek gua tercinta.

"Bang Vino, cepetan dong. Dari tadi dandan mulu. Nay udah seneng liat abang yang ada apanya,"
"Nay? Ada apanya? Maksud lu apa Tya?"
"Halah Bang Vino ni sok gaya. Masa lupa sama Nay?"
"Nay? Cewek belagu yang dulu rebutan layangan sama Abang itu?"
"Iyelah, sape lagi? Emang ada Nay yang lain?"
"Lha trus maksud lu, Nay seneng liat gua yang ada apanya itu gimana? Gua kagak ngarti"
"Ntar juga abang ngarti, hahaha ..."

Gua terdiam ngga ngerti apa yang Tya bicarain. Nay, cewek itu. Bah, pasti mukanya masih asem kaya dulu. Tapi delapan tahun berlalu, apa iya dia masih kaya gitu? 

Hari itu gua lagi asyik bertengger diatas pohon mangga milik Haji Ramli. Gua yang udah 16 tahun masih tetep kece nan imut meski kaya onyet gara-gara hobi nangkring diatas pohon. Aji gile, ada layangan putus. Set dah tanpa pikir pake dengkul gua langsung loncat lari nguber tuh layangan.

Dengan kecepatan ala Valenvino Rossi, gua berlari sekenceng-kencengnya buat nguber tuh layangan. Ternyata, tuh layangan udah nyungsep aja diatas pohon. Segeralah gua naik ke atas pohon mangga milik Bang Jaja. Eh bused, ternyata diatas udah ada penghuni lain yang berhasil ngambil tuh layangan.

"Eh lu, itu layangan gua,"
"Lu sape? Dateng-dateng main ngaku-ngaku aja tuh layangan. Ngga ade musimnye layangan ni milik lu. Yang ade, siape cepet die dapet,"
"Eh lu jadi cewek songong amat. Lu belom tau sapa gua?"
"Emang lu siapa?"
"Gua Vino, penguasa pohon mangga. Yang lu naikin sekarang pohon mangga. Jadi apapun yang ada di pohon mangga, brarti milik gua,"
"Ha? Sumpe lo? Mana capnya? Disini, ini, ini ngga ada cap apa-apa," Ucap cewek itu clingukan
Gua langsung saja monyongin bibir buat nyium tuh cewek.

"Muah"

"Aaaaaaaah...." Teriak tuh cewek
"Hahaha, noh sekarang lu juga milik gua. Cap bibir gua di kening lu ngga bakal bisa ilang,"

Tanpa gua duga, tiba-tiba cewek itu ngedorong gua. Brakkk...

"Aduh, pantat gua..."
"Sukurin lu..." Teriaknya dari atas pohon
"Eh apa-apan kalian berdua nangkring di pohon mangga gua?" Suara Bang Jaja terdengar dibelakang gua
"Nay turun lu, anak cewek pake manjat pohon segala," Imbuh Bang Jaja


Perlahan Nay turun dan gua terus memperhatikannya. Mata beningnya, seet dengan kecepatan sepersekian detik gua curi pandang nyelemin matanye. Enyak Babeh, rasanya kok kayak tersengat tawon.

"Kalian mau nyuri mangga gua ya? Ayo ngaku!!!"
"Kagak Bang, kita berdua cuma mau ngambil layangan," Jawab gua membela
"Gua ngga percaya. Gua aduin lu berdua sama orangtua lu pada, biar sekalian dikawinin,"
"Ah jangan Bang, Nay masih kelas satu esempe,"
"Emang gua pikirin! Sekarang lu berdua gua hukum buat nyapu disekitaran kebon mangga gua ini," Perintah Bang Jaja

Akhirnya gua dan ntu cewek nyapu di kebon mangganya Bang Jaja. Masih dengan hati gemeter kayak kesetrum listrik serebu watt gua mlirak mlirik sepersekiandetik nyelem ke mate tuh cewek atu.

"Jadi nama lu Nay?"
"Iye, emang nape?"
"Tanya aje, sape tau ntar kite beneran dikawinin,"
"Gue kawin sama lu? Ogah ye,"
"Kenape? Gua kan ganteng, lu ngga bakalan kecewa sama gua,"
"Ogah ye, ntar lu rebut layangan gue lagi,"

Gua hanya bisa natap Nay yang kembali sibuk dengan sapunya. Ya Allah Nay, sesimpel itu lu mikirnye? Hah, kenapa gua ini?

Begitulah Nay, ini All About Nay yang memiliki sifat ajaib. Sampe akhirnya gua tau Nay itu temen sekolahnya Tya. Beberapa kali Nay ke rumah sama Tya. masih dengan muka asemnya kalo liat gua. Kayaknya dia masih marah lantaran kejadian di atas pohon mangga waktu itu.

At Gedung Tua

"Bang itu Nay," Ucap Tya
"Kok ada Nay segala sih? Lu yang ngajak?"
"Ya ngga lah Bang. Mungkin Abang jodoh kali," Jawab Tya cengar-cengir

Gua tertunduk, ngga tau rasanya kaya apa. Seperti kejadian dulu dengan hati gemeter kayak kesetrum listrik serebu watt. 

Lima bulan kemudian

Gilaaaa, undangan pernikahan Nay didepan mata gua. Gua bolak balik tuh undangan, warnanya indah tulisannya juga keren. Tapi kenapa gua ngga dikasih undangan juga?

Ini semua tentangmu
Tentang dirimu yang telah mencuri hatiku
Hanya dirimu
Seorang yang selalu dimimpiku

Ini semua tentangmu
Gadis yang datang kerumahku
Gadis yang ternyata menyimpan hatinya untukku
Ya, dia itu kamu

Gua baca tulisan itu di undangan Nay. Bused tuh orang, ngrayunya garing amat. Kayaknya dia ngga pernah baca bukunya Kahlil Gibran. Kok Nay mau ya sama dia? Gua jadi heran sendiri dah. Nay, tega lu sama gua.  Masa gua ngga dikasih undangan? Ini ngga adil ....

"Abang!!!" Sapa Tya ngagetin gua yang sedikit galau
"Ape lu?"
"Kata Nay, Abang disuruh santai aja,"
"Gimana mungkin gua santai? Gua ini ngga dapat undangan Nay,"
"Halah Abang itu, sok lebay"
"Tya, gua beneran galau...."
"Udah, hafalin aja tuh nama lengkap Nay. Jangan sampe nanti kalo ijab qabul salah nyebut,"

Gua acak-acak rambut Tya. Gua gemes banget sama dia. Semoga aja besok saat ijab qabul gua beneran ngga salah nyebut nama Nay. Ah... Gua beneran galau ....


NB :
Ini kado terkhusus buat mb' Nay. Ngga tau deh kado apa pokoknya kado aja hehehe. Mungkin kado buat sabar karena Vino G Bastian nikah sama Marsha Timothy :uhuk . Maaf juga karena bahasanya acak kadut. Mau gimana lagi, aku cuma bereksperimen ngikutin gaya betawinya mb' Nay :uhuk . Kayanya lebih baik pakai bahasa Indonesia biasa aja deh. Kapokkkk :smile

Gadis Berpayung Hijau

Langit gelap, udara dingin menusuk hingga tulang. Musim memang sudah berbeda tak seperti dulu. Kalau di SD dulu ada pertanyaan kapan musim kemarau dan kapan musim hujan, pasti jawaban sudah terpampang. Tapi kini, Global Warming merambah bumi. Musim tak menentu lagi dan kini harus ku lewati hari menikmati nikmat Tuhan berupa hujan.

Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi! Tidaklah bermanfaat tanda-tanda kebesaran Allah dan Rosul-rosul yang memberi peringatan bagi orang yang tidak beriman. Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, kapal yang berlayar di laut dengan muatan yang bermanfaat bagi manusia. Apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkannya bumi setelah mati (kering). Dan Dia tebarkan didalamnya bermacam-macam binatang dan perkisaran langit dan bumi. Semua itu sungguh merupakan tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang mengerti.

Dalam penciptaan langit dan bumi dapat kita lihat adanya pengaturan sistem kerja yang sangat teliti. Di langit ada benda-benda angkasa seperti matahari, bulan dan juga gugusan bintang. Sedangkan bumi merupakan planet ciptaan Allah yang menyimpan berbagai keajaiban. Seperti juga keajaiban yang ku rasa beberapa minggu ini. Ini karena -Nya dan karena keajaiban hujan.

Setiap hari saat hujan, ku lihat gadis berpayung hijau berjalan lewat depan kostku. Payung hijau lumutnya yang indah dengan corak bunga sakura menghiasinya membuatku tergoda. Aku menatapnya lewat jendela lantai atas tempatku berdiri. Gadis berjilbab itu samar-samar terlihat manis dengan payung hijaunya. Siapakah namanya? Seperti apa wajahnya? Karena sesungguhnya saat ku pandangi payung hijaunya, tak pernah kulihat wajah pemiliknya.

*****
Siang berganti malam. Perputaran bumi mengelilingi matahari dapat dijadikan hitungan yang tepat secara ilmiah. Dari hisab inilah kita dapat mengetahui penentuan waktu. Waktu juga yang membawaku pergi untuk melaksanakan sidang, sidang untuk gelar S1 ku.

" Azmi..."
Aku tersadar dari lamunku, " Iya... Ada apa Ki???"
" Masih di depan jendela saja, sudah siap sidang atau belum? " Ucap Rizki teman satu kost ku.
" Insya Allah siap ... Aku sudah berusaha dan sidang nanti adalah catatan awal perjuanganku,"
" Lalu, apa yang kurang?"
" Gadis berpayung hijau itu, dia belum muncul di hujan pagi ini,"
" Ya Rabb... Masih juga kau merindukan gadis itu? Kalau kau gentle, kenapa tak kau sapa gadis itu? Kalau dilihat, wajahmu sedikit ganteng tapi masih banyak kegantenganku. Atau, biar aku saja yang mengambilnya, gimana? "
" Mengambil??? Dia itu bukan barang yang bebas dicomot. Dia itu gadis berjilbab yang selalu berjalan dengan payung hijaunya melewati kost kita. Nyaliku terlalu ciut untuk mendekatinya. Kuatkah imanku bila nanti bertemu dengannya? "
" Paling tidak, cobalah... Ajak dia ta'aruf,"
" Ta'aruf? Kau gila? Agamaku belum seberapa. Lagi pula aku hanya mahasiswa kere yang terdampar di kota ini. Aku tak punya apa-apa lalu untuk ta'aruf, apa yang bisa ku andalkan? Wanita jaman sekarang apa masih mau jika dipinang hanya dengan Bismillah? "
" Mungkin saja, Eh itu gadismu... "

Aku langsung saja berlari menuju jendela. Aku melihatnya, gadis berpayung hijau itu. Dia seperti sebongkah oksigen yang membawaku bernafas dengan tenang. Jantungku berdegup kencang melihatnya berjalan. Gadis  berpayung hijau, dia seperti memberikan suntikan semangat berdosis tinggi untukku. Ya Rabb... Inikah nikmat- Mu?

*****
Perkisaran angin dan pergeseran awan. Angin terkadang membawa rahmat terkadang membawa azab dan terkadang pula membawa kabar gembira. Dengan ilmu pengetahuan yang dipelajari manusia dan usahanya meneliti, akhirnya dapat diketahui keadaan angin dan cuaca. Ini menjadi suatu bukti adanya keteraturan alam dan tentunya ada yang mengatur yaitu Allah.

Akhirnya sidang berjalan dengan lancar dan aku lulus. Saat-saat wisuda kini didepan mata. Semuanya seperti mimpi , hadiah manis yang dikirim Allah untukku. Aku akan pulang, Ayah Bunda.... Pulang ke tempat  ku dilahirkan dan membuka mata untuk yang pertama kali. Aku senang... Tapi ada sedikit rasa yang mengganjal, Gadis berpayung hijau itu....

Beberapa hari setelah sidang, aku tak pernah melihatnya. Bukan karena hujan tak datang, tapi memang dia tak muncul. Ku tanya Rizki, dia juga tak tahu dan tak melihat Gadis berpayung hijauku. Ya Rabb... Harus kemana aku mencarinya? Ingin ku ucap terimakasih padanya. Aku ingin berpamitan, aku akan pulang.... Gadis berpayung hijauku, dimanakah dirimu?

Aku tak bisa tidur. Hatiku selalu gelisah mendapati Gadis berpayung hijauku tak pernah memperlihatkan batang hidungnya. Aku harus bagaimana? Aku merana .... Tidak setiap kita berhak dicintai, karena syarat dicintai adalah akhlak dan keutamaan. Namun, kini ku ambil bagianku sebagai pecinta dan ku nikmati. Jika diriku tak menjadi yang dicintai, maka jadilah aku yang mencintai.

Aku benar-benar pulang. Rezki sedikit hawatir, tapi aku tak peduli. Ku bawa beberapa payung hijau untuk adik-adikku. Bukan payung bermotif sakura, hanya payung hijau polos sebagai pengobat rindu. Ku nyatakan keindahan Mu dalam kata, ku simpan kasih Mu dalam dada. Kisah ini sepi sendiri tanpamu Gadisku. Mungkin aku diam tenang bagai ikan, tapi hatiku gelisah seperti ombak di lautan. Ternyata, aku mulai tidak waras.

*****
Melewati hari sepi tanpa Gadis berpayung hijau. Hari berganti hari menjadi bulan dan hampir satu tahun ini tak pernah ku jumpai Gadis berpayung hijau yang lainnya. Gadis itu masih mengakar didada. Tapi hidup harus berjalan....

" Ya Fakhruddin Al Azmi ibni Muhammad Husain... Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka Laila Nur Latifah Binti Muhammad Fahrizal bi mahrin khomsamiatu alafin rubiyah khalan,"
" Qobiltu nikakhaha wa tazwijaha bi mahrin madzkurin khalan,"
" Khalan...."

Aku menikah dengan gadis yang dikenalkan ayah padaku satu bulan yang lalu. Kami ta'arufan dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Banyak kecocokan diantara kami, meskipun kami sama-sam belum terlalu mengenal satu sama lain. Dia, gadis berjilbab yang solihah yang dikirim Allah untukku. Yah... kini dia istriku.

" Ya ukhti... Dapatkah kita mengulang perkenalan lagi?" Ucapku lirih.
" Ukhti? Bukankah kita sudah halal?" Jawabnya lembut.
" Oh iya,," Ucapku mengada
" Ya habibati, masmuki ?" Tanyaku kemudian
" Ismi Laila Nur Latifah, masmuka ya habibi?"
" Ismi Fakhruddin Al Azmi,"

Kami pun tersenyum dalam kebodohan masing-masing. Lucu memang ketika harus mengulang perkenalan saat kami sudah halal. Begitulah... Aku berusaha menumbuhkan cinta diantara kami berdua. Cinta yang sesuai dengan jalan takdir- Nya. Langit mungkin gelap dan tetes air turun dari langit bukan karena sedih. Mereka turut berbahagia mendoakanku dan juga dia yang kini menjadi istriku. Semesta bertasbih memuji kebesaran Illahi.

Lihatlah masalalu dan tataplah masa depanmu. Dalam hidup ini selalu ada ujian, ia akan selalu silih berganti. Maka, setiap orang harus bisa keluar dari ujian itu sebagai pemenang. Dan Dia- lah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkanmu pada malam hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan. Kemudian kepada- Nya kamu kembali, lalu Dia memeberitahukan padamu apa yang telah kamu kerjakan.

Kau dan Aku
Menikmati hujan senja di jalanan rumah
Kau dan aku
Dalam dua dunia dua wajah yang berbeda
Tapi tetap satu cinta
Gelapnya awan, gemuruhnya guntur
Menyanyikan lagu kebahagian kita
Kau dan Aku
Berdua dalam satu nafas cinta
Ini aneh,
Di dua sudut kita berbeda
Tapi akhirnya kita bersama

Hujan makin deras membasahi bumi. Aku berjalan bersamanya istriku menerobos hujan di senja ini. Aku memeluknya erat dibawah payung hijau bermotif sakura. Guntur terdengar bergemuruh, sang bayu membelai, dingin sekali. Mungkinkah ini tanda karena mereka iri padaku? Hanya Dia yang tahu.

Cinta tak datang tiba-tiba. Cinta tumbuh karena adanya waktu dan cinta dari- Nya. Cinta adalah sesuatu yang menakjubkan dan aku tak perlu mengambilnya dari orang lain. Seolah seperti menunggu hujan, tak tahu kapan datang tak tahu kapan pergi. Tapi ku yakin ada yang indah saat pelangi mulai menyapa.