Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.
Showing posts with label Diam. Show all posts
Showing posts with label Diam. Show all posts

Diam itu [Bukan] Emas

Bismillaahirrahmaanirrahiim....


Pernah dengar apa itu Pesantren? Pernah
Pernah tinggal di sana? Pernah
Ada sesuatu yang tidak kamu lupakan saat di sana? Ada, banyak :smile .


Versi saya jaman sekolah itu, kalau tinggal di Pesantren kita akan mendapat dua hal. Satu bisa nggaji. Dua bisa sekolah. Jadi ngaji sambil sekolah, bukan sekolah sambil ngaji.


Saya pernah sekali pindah pesantren. Saya nakal? Tidak sih, cuma saya punya pemikiran yang rada absurd saja :uhuk .


Setelah Kyai Ponpes Roudhotul Muta'allimin Bawu Jepara (Ponpes pertama saya) wafat, Ponpes jadi berbeda. Terlebih di tahun terakhir saya duduk di MTs, hampir semua teman seangkatan Boyong aka pulang ke rumah. Kalau saya bertahan di sana, kemungkinan besar saya akan jadi senior dan saya tidak mau itu terjadi. Jadi, dengan alasan absurd atas nama tidak mau jadi senior, saya pindah ke Ponpes Roudhotul Hikmah (Masih di Bawu Jepara juga) di tahun ke dua saya duduk di bangku MAN.


Dan setelah di sana dengan segala perbedaan, ternyata saya yang junior malah menjadi senior dalam hal usia. Maunya menghindar ternyata ketiban juga. Harusnya saya meluruskan niat.


Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Dengan segala perbedaan di ponpes pertama, saya harus beradaptasi dengan tiga orang santri lain. Dikit amat Ji? Iya, ponpes ke dua memang banyak santri putranya daripada santri putrinya. Dan beradaptasi dengan tiga biji orang saja ternyata lumayan susah. Bohong kalau selama saya di sana tidak pernah bertengkar dengan mereka. Bahkan dengan Inayah, teman sekamar, saya juga sering berselisih pendapat. Kadang saya pikir mereka sungkan karena usia saya yang lebih tua beberapa bulan dari mereka meskipun kami satu angkatan beda sekolah.


Awal tahun 2010 menjadi awal yang sedikit buruk bagi saya. Tahun itu kami akan menghadapi ujian akhir sekolah dan berpisah menuju jalan masing-masing. Saya benar-benar setres dengan ujian itu. Ada masalah dipemikiran dan lainnya membuat semuanya kacau. Saya berusaha fokus belajar, menjadi serius dan itu bukan saya.


Saya menjadi makhluk Tuhan yang pendiam, penyendiri, tidak mau diganggu, anti bising dan fokus belajar. Sedang teman saya yang lain mereka santai, tidak terlalu pusing dan mereka masih bisa tertawa. Sedikit keributan terkadang membuat saya marah pada mereka. Ini benar-benar bukan saya. Diam yang katanya emas ternyata tak berarti apa-apa. Saya merasa terasing, dikucilkan dan jujur saya setres lahir batin.


Di satu titik, saya seolah mengulang masa lalu. Di pesantren yang dulu saya pernah didiamkan teman sekamar tanpa tahu kesalahan apa yang saya perbuat. Saya minta maaf kepada mereka, tapi seolah mereka tak peduli. Dan pada saat itu juga saya langsung menemui teman-teman, meminta maaf kepada mereka. Ini murni kesalahan saya, keegoisan saya. Saya menangis, mereka juga. Dan yang jauh lebih penting dari semua adalah kelegaan hati saya. Saya merasa bebas, damai dengan hati, perasaan dan juga teman-teman saya.


Diam itu emas, tapi tidak selamanya. Kadang kala lebih baik kita diam dalam suatu masalah, tapi ada banyak masalah yang harus kita selesaikan dengan bicara. Di dunia ini kita tidak hidup sendiri, ada orang lain juga. Perbedaan dalam pertemanan itu biasa. Yah karena Tuhan pun menciptakan kita berbeda-beda tapi dalam satu titik kita bisa menjadi satu.


Dan pada saat perpisahan itu tiba, ada rasa manis yang pantas dikenang dan ada rasa pahit yang harus dilupakan.


Sampai saat ini saya masih berhubungan baik dengan Inayah meskipun jarang SMS/telfon seperti dulu. Saya sibuk dengan pekerjaan dan dia sibuk mengurus anak dan suaminya. Untuk teman lain, jujur saya kehilangan kontak karena rumah mereka cukup jauh dari jangkauan saya.


Saat Idul Fitri tiba, saya menyempatkan diri untuk datang ke ponpes-ponpes saya dulu. Rindu? Jelas. Rindu akan suasana ngaji dan kebersamaannya. Ilmu saya masih belum seberapa saya masih ingin belajar. Tapi toh hidup harus tetap berjalan kan? Masih banyak hal yang perlu saya lakukan dikehidupan nyata, realita dan tentunya bukan di pesantren saja.

logotrilogipesantren
Credit

“Tulisan ini diikutsertakan pada Trilogi Giveaway ‘Action for Pesantren’ bersama Ruang Sederhana”

Diam

Aku melewatimu. Berusaha tetap diam menjaga fikiran untuk terus berfikir positif. Tapi yang ada, ternyata waktu membuktikan semua kebenarannya. Sebagai wanita yang bukan apa-apamu, aku sendiri malu. Entah karena apa aku tidak tahu. Mungkin karena gender kita yang memang sama. Kau yang katanya bisa berperilaku lebih baik, ternyata….


Apa itu salahmu? Aku tidak tahu. Tapi yang kuyakini adalah sifatmu jelas tumbuh dari sifat orang tuamu, dari kebiasaanmu. Aku tahu kamu cantik, kamu punya sesuatu untuk memikat lawan jenismu. Tapi perlu kamu tahu, cantik di dunia hanya untuk perhiasan dunia kalau kamu tidak bisa menjaganya.


Kamu ingin punya suami mapan, kaya lalu bagaimana denganmu? Sudahkah kamu layak untuk mereka? Dari sekian banyak artikel yang pernah kubaca, pria mapan-kaya itu butuh seseorang yang pintar bukan cantik. Pintar, bagaimana kamu bisa saling berdiskusi dengan mereka. Cantik bagi mereka adalah bonus.


Anggap saja aku ini Kakak perempuanmu. Aku memang bukan orang baik. Tapi setidaknya sebagai peremuan aku berusaha untuk menjaga diriku, menjaga rasa maluku. Lalu, bagaimana aku menghadapimu?