Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

Maaf

Malam 8 Juli 2013, aku sempatkan diri nelfon orang rumah, Bapak Bu e. Aku ingin minta maaf pada mereka. Kalian tahu apa reaksinya?


"Memang kamu punya salah apa? Kan belum lebaran."


Hadeuh, rasanya pengen nelen galon. Dosaku kan banyak Bapak :hwa . Sebagai anak perempuan terakhir, aku belum bisa menuhin keinginan Bapak. Keinginan yang 'itu'. Iya, tenanglah Bapak Bue, aku memikirkannya jauh lebih jauh.


Ketika Bapak bertanya kapan aku pulang, ya nanti setelah tugasku selesai. Aku masih juga belum menjawab pertanyaan yang kubuat untuk calon partner hidupku nanti. Calon yang mau diwawancarai masih terlalu banyak dan aku harus mempelajarinya. Ah, maksudku calon karyawan di perusahaan tempatku bekerja. Jah, ini jalan ceritanya kemana ya?


Intinya sih, aku minta maaf pada teman-teman semua. Maaf karena belum bisa bewe, maaf kalau komentarku ngga banget, maafkan atas semua tulisan-tulisanku yang mungkin menyinggung. Maaf karena aku ngga pernah SMS. Kita punya kesibukan masing-masing dan saat ini aku kebagian sibuknya. Maafkan aku ya :peace :smile :hepi :hwa 

Doaku

Bismillahirrahmaanirrahim….


Sudah lama sekali aku tidak menulis fiksi. Kangen? Jelas. Rasanya tanganku begitu gatal ingin segera menyelesaikan, menuangkan semua isi otak dan ide-ide yang bermunculan. Kenyataan yang ada, aku harus lebih bersabar lagi untuk mematangkan semuanya. Semua butuh proses begitu juga dengan jalannya sebuah fiksi.


Doaku, semoga aku bisa melewati masa percobaan tiga bulan ini, amin ya Rabbal'alamin

Aku Pasti Bisa

Sudah baca tulisanku tentang Mimpi Yang [Tak] Sempurna? Penting? Tidak juga sih :uhuk . Hanya saja dalam postingan itu aku menuliskan mimpi masa kecilku yang belum kesampaian :smile . Eh tapi, dibilang belum ya aku sudah pernah mengajar sih :uhuk .


Dulu aku sempat mengajar sebagai guru ngaji di mushola dekat rumahku. Dibayar? Jelas tidak. Aku ngajarnya suka-suka sih. Siapa yang mau ngaji, hayuk. Kalau tidak ada, ya wes yang penting aku sudah ngejongkrok di depan meja.


Rata-rata anak yang mengaji itu usia SD. Mereka mungkin mengatakan bahwa aku ini mirip Mak Lampir. Kerjanya marah-marah terus. Poin kerennya karena aku sering sekali menyuruh mereka mengulang. Ibarat kata, ngaji mereka tidak naik-naik. Wuih, pada sebel setengah hidup deh.


Kalau mau jujur, aku sebenarnya suka anak-anak. Cuma kalau sudah agak gede, aku sering sebel dan jengkel dengan tingkah dan pola piker mereka. Perasaan dulu pas aku kecil tidak sampai segitunya deh *Pencitraan :uhuk .


Beberapa bulan ini Alhamdulillah aku dan beberapa karyawan lain sering ikut pelatihan mengajar membaca. Awalnya yah aneh secara backgroundku sama sekali bukan pengajar apalagi guru PAUD, TK atau playgroup.


Dari sini, kita dituntut tidak hanya mengajar tapi mendidik. Kalau mengajar, aku yakin siapa pun bisa melakukannya asal dia sanggup untuk menguasai pelajaran yang akan diajarkannya nanti. Nah, karena yang kuajar adalah anak-anak, jadi aku harus menanamkan pendidikan baik pada mereka.


Pola pikir anak-anak jelas sangat berbeda dengan orang dewasa. Dunia anak-anak adalah dunia bermain, bernyanyi, loncat-loncat dan bebas apa pun yang dia mau. Saat kita mengatakan ‘Jangan ini, jangan itu’ maka respon yang diterima adalah perintah karena sifat mereka sangat penasaran dengan hal-hal baru.


Sebagai seorang yang dibilang dewasa, kita sering sekali mencap anak dengan sebutan buruk karena melakukan satu kesalahan. Misal saja, anak nakal. Mantra yang kita ucapkan ini justru menjadi sugesti yang terekam kuat dalam otak anak. Maka dari itu, hendaklah kita sebagai orang dewasa, orang tua selalu menerapkan pola pikir positif pada anak. Misal saat anak naik ke atas pohon. Jangan katakan tidak, nanti jatuh tapi katakan hati-hati ya Nak. Jangan lupa berdoa. Bukankah itu sesuatu yang sangat keren?


Aku punya murid yang sangat hiper aktif namanya Haunan. Menurut curhat Uminya, Haunan sudah tiga kali keluar masuk PAUD. Informasi, Haunan tidak mau diatur bahkan pernah tidak sengaja melukai pelipis gurunya. Orang tuanya sampai pusing, bagaimana mengatur anak ini.


Nah, hari itu aku dapat tugas bermain dengan Haunan. Kuajak dia tepuk tangan, meloncat, bernyanyi dan bermain. Aku mengajaknya mengobrol ala anak-anak. Kutanyakan apa kesukaannya. Dia juga bilang bahwa ada kambing bagus di depan rumahnya.


Setiap anak punya sifat ajaib tersendiri. Tinggal bagaimana kita bisa atau tidak mempelajari karakternya. Semua anak sama, mereka ingin bermain dan aku berusaha mewujudkan apa yang dia mau.


Dari sini aku banyak belajar tentang pentingnya memberikan pendidikan saat usia dini. Anak adalah hasil fotocopy kita di masa yang lalu. Anak adalah kertas kosong yang bebas kita coret dengan tinta warna-warni. Di sinilah saatnya kita belajar, mau jadi apa anak kita nanti? Kalau mau jadi baik, kita harus memberikan pendidikan sebaik mungkin. Tapi kalau kita cuek bebek dan sering mengatakn hal-hal yang kurang baik di depan mereka, maka jangan salahkan jika mereka mengikuti apa yang kita lakukan atau bicarakan.


Keluargaku memang bukan seorang pengajar tapi aku bersyukur betul dengan pendidikan dari orangg tuaku. Yuk mari kita perbaiki diri. Toh pendidikan dengan kata-kata positif tidak hanya berlaku pada anak tapi pada semua orang. Kata-kata positif merupakan semangat yang luar biasa. Seperti sebuah mantra, sugesti positif akan terus menjalar menjadikan kita tidak mudah putus asa. Apa pun yang terjadi, katakan pada muridmu, pada semua orang, Aku Pasti Bisa! 


Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Si Sulung