Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

Andra Bukan Andra

Aku baru saja mendudukkan pantatku di bangku saat suara berisik para gadis mengganggu telingaku. Saat ini jam istirahat. Memang menjadi rutinitas yang wajar mendengar jeritan gila mereka.

“Andra!!! I LOVE YOU!!!” kata para gadis yang saling menyahut.

Aku tahu betul, Andra cowok paling popular di sekolah selalu menjadi yang nomor satu. Anak kelas XI itu, wajahnya memang tampan. Tinggi dan otaknya juga tidak terlalu buruk. Apa peduliku dengan dia? Aku di sini untuk belajar, bukan untuk mengejar lelaki. Persetan dengan Andra.

“Nay! Ayo ke lapangan bola!” ajak Tya teman sebangkuku.

“Males, ah!”

“Kak Andra lagi main bola. Kabarnya anak kelas XI tanding sama anak kelas XII.”

“Terus? Gue harus bilang, oh my God!

“Nay! Kamu tolol atau apa sih? Ngasih dukungan dikit kenapa? Bagaimanapun, kamu kan tetangganya.”

Aku nyengir. Yap! Andra memang tetanggaku. Terus, masalah buat kalian semua?

“Aku lebih suka Bale dari pada Andra.”

“Terserah! Bale item aja dilike. Payah!”

Memang, kalau Bale hitam kenapa? Dia ganteng, main sepak bolanya juga bagus. Lagian, sekarang Bale jadi pemain top dunia. Andra! Tidak ada apa-apanya deh.

***

Hari ini aku berangkat lebih pagi. Ada piket pagi ini membuatku harus ekstra untuk menyelesaikan semuanya sebelum anak-anak masuk kelas. Biasanya aku berangkat normal. Suasana sekolah yang sepi, sepertinya memang sangat aman dan menyenangkan.

Aku baru saja selesai membuang sampah ketika tanpa sengaja aku menabarak seseorang. Kubersihkan rokku sambil mengucapkan maaf sebelum aku mendongakkan kepala.

“Andra?”

“Hai Nay!”

“Maaf. Aku ngga sengaja.”

“Ngga papa, Nay.”

“Tumben pagi-pagi sudah datang.”

“Tumben? Setiap hari aku selalu datang lebih pagi, Nay.”

“Masa?”

“Ngga percaya? Besok, kamu boleh kok nebeng motor aku.”

Mataku menyipit, 

No!

Aku meninggalkan Andra yang masih melongo.

“Kenapa?” tanya Andra.

“Males aja!”

Aku terus berjalan tanpa menengok ke belakang. Andra pikir aku bisa segampang itu untuk berboncengan di atas motornya? Memperhatikan punggungnya, mencium aroma parfumnya. Memeluk tubuh kekarnya? Ih No! Ah! Aku bukan perempuan gampangan. Membiarkan Andra mendekat, itu sama artinya mempersilakan diri sendiri masuk ke dalam kandang buaya. 

***
Masih seperti hari yang kemarin-kemarin. Teriakan demi teriakan menggema memanggil nama Andra. Aku berjalan menuju perpustakaan dan menoleh ke arah lapangan. Andra tersenyum lebar saat mata kami saling bertemu. Hei! Mungkin saja bukan tersenyum ke arahku. Aku saja yang kege-er-an. Aku melirik ke samping kanan dan kiriku. Tidak ada orang. Dasar Andra!!!

***
Aku meraba laci mejaku. Tidak ada. Aku membuka tas ranselku, juga tidak ada. Kemana buku tugasku? Ya Tuhan! Banyak tugas yang kukerjakan dan kucatat di sana. Bagaimana ini? Mana hari ini ada tugas yang harus dikumpulkan lagi.

“Tya, kamu tahu ngga buku tugasku?”

“Buku tugas? Yang bagaimana? Warnanya apa Nay? Hello Kitty atau yang gambar Bale?”

“Yang biru muda itu lho. Polos. Biasanya aku buat ngerjain tugas.”

“Kemarin bukannya kamu bawa ke perpustakaan?”

“Iya, yang itu.”

“Bentar-bentar. Kayanya kemarin Andra bilang dia nemuin buku di perpustakaan.”

“Andra?”

“Iya Andra.”

Sial! Pantas saja dari kemarin dia senyam-senyum tak tentu. Ternyata ini tujuan utamanya? Mengambil bukuku kemudian tidak mengembalikannya. Rumah beda satu gang saja tidak mau mengembalikan. Jangan-jangan, ini hanya alat agar aku mau berangkat bareng saat ke sekolah. No!

Aku bangkit dari tempat dudukku kemudian melenggang pergi.

“Mau kemana, Nay?” tanya Tya.

“Mau ngasih pelajaran buat Andra!”

“Lho? Kok? Nay, tunggu…!”

Jarak dari kelasku menuju lapangan bola cukup jauh. Aku berlari menuju lapangan bola di mana Andra sedang bermain bola. Rasanya panas, mengingat kelicikan yang dia lakukan. Aku bukan perempuan gampangan! Andra harus mencatat itu dalam otak tololnya.

“Andra!” teriakku. Aku berjalan ke tengah lapangan.

Andra menoleh, permainan berhenti. Semua mata melihatku.

“Ada apa, Nay?”

“Ada apa? Sini balikin bukuku!”

“Buku? Buku apa?”

“Buku tugasku. Aku tahu, ini pasti rencana jahatmu. Cepetan balikin!”

“Rencana jahat apa coba? Buku yang kamu maksud, buku apa?”

“Sudah, jangan banyak mulut! Dasar buaya!”

Andra memandangku tak mengerti. Kuayunkan kepalan tanganku pada perutnya. Aku melenggang pergi dan semua orang menyerbu Andra. Jeritan demi jeritan menggema.

“Hei! Anak kelas X! Lu kok berani-beraninya buat malu Andra? Pake nonjok segala lagi!” kata teman sekelas sekaligus fans Andra.

“Bodo amat!” kataku berjalan menjauh.

Andra! Ini belum ada apa-apanya.

“Nay!” teriak Tya.

“Apa?”

“Aku panggil ngga nyaut-nyaut. Kamu tadi ngapain di lapangan? Kok jadi ribut kaya gitu? Heboh banget deh! Kamu tadi nendang bola ke gawang?”

“Aku habis ngasih pelajaran sama si Andra! Pake tinju maut!”

“Ha?”

“Kok ha, sih?”

“Emang, Kak Andra ngapain kamu? Dia macem-macem sama kamu? Harusnya kamu bersyukur Nay, bisa diapa-apain sama Kak Andra!”

“Gila!”

“Kok gila?”

“Katamu dia yang nemu bukuku? Dia ngga mau balikin, aku labrak aja! Pake ini!” kuperlihatkan kepalan tanganku pada Tya.

Oh my God, Nay!  Bukan Kak Andra!”

“Ha?”

“Andra anak X 5 Bukan Kak Andra!”

“Jadi, Andra bukan Andra?”

“Kamu sih! Aku tadi kan belum selesai ngomong!”

“Ah, what ever. Sudah terlanjur!”

Ya Tuhan! Bagimana ini? Nasi sudah jadi bubur. Andra sudah terlanjur malu. Aku tidak mungkin lagi mencabut kata-kata yang sudah keluar tanpa permisi saat di lapangan tadi. Tonjokkan itu, pasti sangat sakit! Gila! Mimpi apa aku ini? Kok bisa sih salah mengira? Padahal pelajaran mentaksir waktu Pramuka nilainya bagus.

Jam masuk berbunyi. Aku kembali ke kelas dan mendapati buku tugasku di atas meja. Aku memandang dan menyentuhnya tak percaya.

“Andra, anak kelas X 5 tadi yang balikin.” kata Tya.

Aku beringsut di atas meja. Bodoh! Bodoh! Bodoh!

***

Langit mendung semendung hatiku. Aku masih belum bisa memaafkan diriku dengan insiden penonjokkan Andra di lapangan bola tadi. Semua mata memandang sinis ke arahku. Sialnya, pendukung Andra terlalu banyak. Mereka bisa-bisa datang ke kelas hanya untuk marah-marah padaku. Itu saja kalau di sekolah. Bagaimana kalau mereka membuntutiku dan mendapati rumahku berdekatan dengan rumah Andra? Bisa mati mendadak aku. Aku bukan siapa-siapa di sini. Mungkin aku akan meringkuk di dalam kelas sampai siswa-siswi lain pulang. Gila! Aku ketakutan.

Langit meneteskan air matanya. Mungkin dia juga merasa sedih sama dengan yang kurasa. Ah! Itu hanya alasanku saja. Hanya sebuah pembelaan bodoh. Mencari pertolongan pada siapa lagi selain pada Tuhan?

Aku berdiri mematung di teras depan gerbang sekolah. Sendiri. Sebenarnya masih ada satu dua anak yang ke sana ke mari di saat hujan lebat seperti ini. Setidaknya, mereka bukan fans Andra. Paling tidak, aku bisa aman untuk hari ini. Entah untuk hari esok.

"Belum pulang, Nay?"

Jantungku berpacu, siapa yang memanggilku? Aku menengok, sepertinya,

"Andra?"

"Iya, ini aku. Kenapa Nay?"

"Kok kamu belum pulang?"

"Kok  balik  nanya, sih? Aku tadi ketiduran di UKS. Perutku sakit. Rasanya melilit-lilit bagaimana gitu."

"Sakit? Pasti gara-gara tonjokkanku tadi ya? Maaf ya? Sekarang apa masih sakit?"

"Iya aku maafin. Tapi, masih terasa sakit, Nay."

"Sebelah mana? Mana yang sakit?"

Aku meraba lengan kiri Andra tapi tangan kanannya menghentikanku. Mata kami bertemu. Dia memandangku sambil menggenggam tanganku lalu di letakkan di dada kirinya. Jantungnya berdetak hebat membuat nafasku sesak.

"Sebelah sini, jauh lebih sakit, Nay!"

"Di sini? Jantung? Kamu sakit jantung?"

"Bukan, Nay. Hatiku yang sakit."

"Hati? Bukannya hati di sini?" kutarik tanganku dan menunjukkan letak hati di perut kananku.

"Pokoknya sakit, Nay!"

"Bodo amat. Aku mau pulang!"

"Jangan!"

Andra meraih tanganku.

“Jangan pergi, Nay,” pintanya. Aku memandang mata coklatnya yang teduh.

“Jangan pergi dari hatiku.” sambung Andra.

“Sinting!”

Andra menarikku, memenjarakanku dalam dadanya yang hangat.

“Aku memang sinting, Nay. Semua karena kamu.”

“Lepaskan, Andra!” kataku meronta.

“Kadang pembalasan jauh lebih kejam, Nay.”

“Lakukan apa pun yang kamu mau! Biar puas sekalian!”

“Kamu yakin?” kata Andra menghadapkan wajahku ke wajahnya.

“Tentu saja. Memang kamu mau apa?”

“Aku mau ini!” 

Andra semakin mendekatkan wajahnya. Aku kaget, tak siap dengan serangannya yang tiba-tiba hanya bisa memejamkan mata. Ya Tuhan! Tolong aku! Semoga ini bukanlah hal yang buruk. Aku merapal doa, membiarkan bibirku komat-kamit.

Satu, dua, tiga detik hingga satu menit berlalu. Andra melepaskan tubuhku. Kubuka mata perlahan. Dia tersenyum memandangku.

“Apa kata Ibumu nanti kalau sampai aku menciummu tanpa permisi? Lagian, apa kata fansku kalau perempuan yang meninju perutku malah dapat ciuman? Bisa-bisa mereka ikutan meninjuku lagi!” katanya terkekeh.

Wajahku panas. Mungkin kini berubah menjadi merah gara-gara sindiran Andra itu.

“Ayo pulang, Nay!”

Aku mengangguk mengiyakan ajakan Andra. Dia menarik tanganku, menggenggamnya lembut. Merasakan getaran hangat yang menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubunku.

“Langit kok masih mendung aja ya? Padahal hujan sudah reda.” ucap Andra.

“Langitnya cerah kok.”

“Cerah dari mana, Nay? Mendung gini!”

“Cerah kok. Suer!”

“Kamu lihat langit yang mana sih?” tanya Andra memandang wajahku.

“Itu, di situ. Langit di matamu cerah banget!” jawabku tersipu.

****

Love at School @AlamGuntur

Jaga Lilin

Malam 12 September 2013, aku sempat berubah ketika menjaga lilin :uhuk . Sebelumnya, si Phi, junior sekaligus teman tidurku, ku ajak muter-muter desa sambil beli sesuatu yang dia suka. Dari jam sembilan malam sudah siap-siap buat tidur dulu baru bangun jam 00.00 . Nyatanya apa yang terjadi? Aku sibuk #Ngok balesin mentionan para peserta HeartChime: GIVEAWAY DIBUKA!!! Dung tak dung tak jes!. SMS an juga sama yang punya hajat laporin tuh peserta. Sambil belajar jarimatika sama dengerin cerita si Phi. Lengkap sudah sampai jam sebelas malam lebih. Masang alarm dan tidur :smile .


Pukul 23.55 aku bangun gara-gara alarm. Tengok sebelah, ternyata dia masih tidur. Wes, ambil lilin siap berubah :etc . Aku berjalan ke dapur untuk ngidupin lilin. Maklum, ngga punya korek api :uhuk . Lilin menyala, horeee :hepi . Balik ke kamar, bangunin si Phi. 


Phi, bangun lu. Giliran jaga, hahaha :uhuk

Benarkah aku beruba? :smile


Yap. Aku bangunin si Phi sekitar jam dua belas malam. Nih tiup lilinnya, dan berubah!!! :uhuk . Phi masih setengah sadar, bangun, duduk dan make a wish baru tiup lilik :uhuk . Setelah prosesi selesai, dia bilang aku so sweet :luph . Phi, salah satu korban gombal gembelku senyam senyum ngga jelas :uhuk .


Yaaa, beberapa waktu ini aku berubah menjadi sosok yang romantis, hobi ngegombal gembel. Tapi ini hanya berlaku untuk perempuan saja :uhuk . Maaf bagi yang mendadak pingsan karena gombalanku hahah :uhuk .

Romantis itu ketika kita tidak sejalan, berbeda arah, berdebat hebat, tapi akhirnya menemukan satu titik yang disebut Cinta :uhuk

Prompt #25: Untuk Sari

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku baru saja selesai memandikan Sari dan memakaikannya baju terbaik. Semalaman aku mondar-mandir memikirkan tawaran Warti. Aku bisa bertahan, tapi Sari? Ya Tuhan! Apa hidupku harus seperti ini?

"Assalamu'alaikum, Yun!"

"Wa'alaikum salam."

"Sudah siap Yun?"

"Ya, begini War. Apa ngga apa-apa kalau Sari ikut?"

"Sekali ini aja ngga papa. Ada beberapa orang yang bisa dititipin anak."

"Aku ingin yang terbaik untuk Sari. Tapi haruskah seperti ini? Jika Mas Dudi masih hidup, dia ngga akan ridho aku bekerja seperti itu."

"Ini bukan pekerjaan hina. Kalau kamu ngga ngambil pekerjaan ini, kamu mau kerja apa lagi?"

Aku terdiam. Kupandangi Sari yang memeluk boneka dengan botol susu di mulutnya. Dia tersenyum manis dan aku tidak sampai hati membuatnya menangis lagi. Dia satu-satunya milikku. Ini aku lakukan untuk Sari.

***

Aku kaget saat Warti menyodorkan baju padaku. Baju ini terlalu kecil, cukup seksi. Aku tidak pernah memakai pakaian mini seperti itu.

"Ngga ada yang lebih longgar?" tanyaku pada Warti.

"Orang-orang itu lihat bajumu. Kalau bajumu ngga mini, ngga seksi, kamu ngga akan dapat duit."

Aku tahu, apa yang dikatan Warti memang benar. Aku bergegas memakai pakaian itu. Rasanya sungguh tidak nyaman. Semua demi Sari.

Aku berjalan mendekati semua orang. Mereka memandangku tanpa sedikitpun berkedip. Aku mulai buka suara seiring musik mengalun.


"Hei kenapa kamu kalau nonton dangdut
Sukanya bilang 'buka dikit joss'
Apa karena pakai rok mini jadi alesan


Sukanya abang ini
Lihat-lihat bodiku yang seksi
Senangnya abang ini
Intip-intip ku pakai rok mini"

Semua orang bergerak, semua orang bergoyang dan aku melihatnya dari atas panggung.

"Aku tahu, suaramu memang bagus Yun. Besok ngga usah ajak Sari. Orang-orang di sini tahunya kamu masih sendiri." bisik Warti sambil menyodorkan dua lembar Ngurah Rai setelah aku selesai menyanyi.

***

MFF

Notes :
Aku lagi kesihir dangdutan #DungTakDungTakJes!!! :uhuk
Lagu : Juwita - Buka dikit joss