Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

Benang Merah

Bismillaaahirrahmaaanirrahiiim.....

Ketika sepasang hati bertemu :uhuk


Mungkin rasanya akan sangat bahagia melebihi apapun saat kita bertemu dengan pemilik tulang rusuk kita. Buku Benang Merah ini berisi berbagaimacam tulisan tentang pernikahan. Ditulis dengan sepenuh hati oleh penulis tamu Kemilau Cahaya Emas.

Foto kiriman Mbak +Nurmayanti Zain 

Geje juga ternyata aku bisa nulis pernikahan wekekek :uhuk . Apalagi pas jadi penulis tamunya setahun yang lalu. Dua puluh tahun nulis tentang apa itu pernikahan :smile . Patut dipertanyakan, itu tulisan beneran aku yang nulis apa bukan ckckck.


Hayuk berburu Benang Merah di Gramedia, Toga Mas. Pokonya di toko-toko buku sudah adaaaaa :smile .

Tulisan lain tentang Benang Merah ada di empunya Kemilau Cahaya Emas : Buku Benang Merah

Tak Bisa Hidup Tanpamu

Semua mata melihat ke arah Mimin. Meski sudah biasa, tetap saja mereka merasakan sesuatu yang berbeda terhadapnya. Bajunya yang kumal dan galon yang selalu melekat dipunggungnya. Mimin enggan melepaskan galon itu. Pernah suatu hari seseorang bertanya kenapa Mimin tidak mau melepaskan galon itu. Mimin hanya menjawab dengan senyuman. Baginya galon itu seperti oksigen. Mimin tak bisa hidup tanpanya.


Hujan lebat, aku melihat Mimin berlari ke lapangan masjid. Dia tertawa riang seperti menemukan sesuatu padahal suara guntur menggelegar memekakkan telinga.


“Mimin! berteduh, Min! nanti sakit!” teriakku.

“Tak mau! aku sedang menyambut kekasihku.”

Mimin menadahkan galon miliknya ke pancuran aliran air hujan.

Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Terimakasih Tuhan

Baku tembak terdengar menyakitkan telinga. Anak-anak menangis mencari orang tuanya yang tak tau di mana. Suara tangis itu akhirnya terhenti ketika kepala mereka mengeluarkan darah. Semua mata waspada, senjata mereka juga siap membidik setiap gerakan yang mencurigakan.


Seorang anak menatap nanar ke depan. Dia bersembunyi, napasnya tersengal-sengal. Dia menahan perih di kaki kanannya akibat luka. Di sampingnya beberapa tubuh terbujur kaku berlumur darah. Sungguh menyakitkan hatinya. Dia melihat setiap detik pembantaian yang dilakukan orang luar sukunya.


Aku berlari ingin memeluknya, merasakan betapa aku juga mengalami kepedihan yang sama. Aku terhenti, senjata mereka mengacung padaku.


“Cuma kucing, bukan manusia.”

Terimakasih Tuhan.

Credit

Diikutsertakan dalam #FF100Kata