Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

Kehilangan

Aku tidak menyebut ini cinta, ini hanya intikali semata ~ John Terro

Kalau ini, aku malah belum bisa menyebut ini cinta. Mungkin hanya sebuah rasa yang terpendam dan memang harta terpendam yang tidak perlu diotak-atik lagi :uhuk .


Aku bertemu dengannya untuk pertama kali saat mendaftar sekolah :uhuk . Dia, pendiam sama diamnya sepertiku #Ciyeee :uhuk . Waktu itu dia bersama ibunya dan aku bersama bapakku. Biasalah namanya orang tua, pengen aja lihat transkrip nilai ujian anak-anaknya. Joinan tuh para orang tua, aku juga lihat sih :uhuk . Nilainya, bagus, pinter dia.  Dia itu namanya ... #Sensor . Oh namanya itu, kaya nama teman SDku :uhuk .



Setelah ujian seleksi dan pengumuman yang ternyata aku bisa masuk sekolah tersebut :smile . Setelah MOS 3 hari, kami siswa-siswi baru mendapat pembagian kelas. Pucuk dicinta ulam (ikan) di air [Pepatah apa ini?] aku sekelas sama dia :uhuk .


Karena sudah kenal sebelumnya, kami pun akrab. Bangkunya juga ngga jauh-jauh amat dari tempat dudukku :uhuk . Aku dibaris pertama, dia nomor tiga dibelakangku. Kalau ditanya rasanya gimana? Biasa aja sih, kan aku ngga menyebut ini cinta :wek .  Namanya juga anak baru lulus SD, mana ngerti soal cinta-cintaan? Aku juga ngga ngerti kenapa ngobrol sama dia itu menyenangkan. Mungkin sih karena kesan pertama yang baik kali yah.


Sebenarnya, aku adalah seseorang yang gampang sekali mengagumi orang lain, suka sama orang lain, tapi ngga gampang jatuh cinta. Rasa sukanya itu pun ngga bisa instan, ketemu langsung gimana-gimana. Semua itu perlu proses dan pemasakan yang matang :uhuk .  Tapi untuk mengagumi sesosok dia, jujur aku ngga tau alasannya. Dari kepintaran? Semua teman sekelasku pinter cuy, anak rangking semua. Jadi alasannya apa? Entahlah.


Setelah beberapa bulan, kami memang akrab ditambah lagi teman sebangkunya juga baik banget. Kadang-kadang diskusi bertiga juga. Yah seru-seruan gitu. Suatu hari, aku ngobrol sama dia. Ngobrol biasa gitu. Eh ngga taunya ada yang nyorakin. Katanya aku sama dia ada apa-apa. Padahal iya sih, aku menganggap dia sahabat yang baik :uhuk . Tapi toh akhirnya, kami saling menolak masing-masing. Maksudnya, kami bilang kami ngga ada hubungan spesial selain pertemanan sama seperti teman lain.


Mulai dari sanalah, dia menjauhiku :hwa . Aku kehilangan dirinya :hiks . Kalau aku lebih mengartikannya, kehilangan teman ngobrol, teman diskusi. Maklumlah, teman sebangkuku juarang ngomong.


Waktu berlalu, kami naik kelas VIII. Dia masih teman sekelasku. Cuma tempat duduknya jauh banget dari jangkauanku. Yang masih sama, dia masih diemin aku coba. Ngomong aja kalau ada sesuatu yang penting. Kalau ngga ada? Yah berlalu deh.


Suatu hari, dalam pelajaran Bahasa Indonesia kami ditugaskan untuk membuat denah rumah masing-masing. Tiba-tiba dia liatin denah rumah yang ku buat. Wah, aku sudah GeEr tingkat dewa. Oh jangan datang ke rumahku. Aku jarang di rumah :smile . Dia Cuma bilang, “ Oh daerah ini? Aku sering lewat waktu main ke rumah si A. Kadang kalau aku pergi ke sekolah, aku juga lewat sini,” . Just it :etc .


Oh iya, dia juga seseorang yang pernah menegurku ketika rambut panjangku terlihat saaat berkerudung. Katanya gini, “Buat apa pakai kerudung kalau rambut belakangnya kelihatan,” . Padahal, banyak teman di kelas juga seperti itu. Tapi kenapa aku aja yang ditegur? Aha! Mungkin karena pacarnya berambut pendek, makanya rambutnya ngga kelihatan, trus dia menegurku :uhuk.


Aku belum bilang ya? Waktu kelas IX, dia pacaran sama teman cewek sekelas kami. Yah, tiga tahun kami sekelas terus. Bosen aku. Ceritanya aku masih sebel gara-gara kehilangan dia, sahabatku yang dulu.


Sampai kelulusan pun, ngga ada kata-kata spesial pakai telur yang terucap. Kami sama-sama gembira karena satu kelas bisa lulus. Nilai kami juga lumayan, bisa masuk sekolah favorit. Salaman massal satu kelas, standar ajalah.


Kami mendaftar di sekolah yang berbeda. Semua kembali normal, seolah kita memang tidak pernah berjumpa. Aku tahu dia sekolah dimana, hanya sebatas tahu dari beberapa teman. Aku dengan kehidupannku, dia dengan kehidupannya.


Tahun 2010, ketika kita sudah lulus SMA, aku tak tahu dimana dia kuliah. Pernah ketika tahun 2011, saat aku sudah aktif ber FB-an ria, aku menemukan teman-temanku yang dulu. Di sebuah akun, aku menemukan fotonya. Nama FB yang dia pakai juga mirip nama aslinya. Langsung saja ku add dan beberapa waktu di konfirmasi olehnya. Ini ku lakukan bukan karena ada rasa padanya. Aku hanya berfikir, kita sudah sama-sama besar. Masihkah ada kesempatan untuk menjalin pertemanan lagi? Seperti dulu saat pertama kali bertemu.


Setelah menjalin pertemanan di FB, aku masih canggung untuk menyapanya. Aku hanya membaca status-statusnya. Dia sering kali menggunakan Bahasa perancis. Setres mode on deh :uhuk . Hingga suatu hari, dia menggati PP dengan foto seorang perempuan. Aku kira, dia pacarnya. Tapi kenyataannya, akun FB itu milik seorang perempuan yang mungkin saja pacarnya, bukan akun miliknya. Kiyaaa~ aku salah add :uhuk .


Sekarang ini, aku tak tahu sama sekali kabarnya. Aku memang sengaja tidak mencari tahu, apa untungnya coba? #ModusPedagang . Apa aku masih kehilangannya? Sepertinya aku lebih takut kehilangan waktu untuk  berkarya daripada memikirnya :uhuk . Kalau suatu hari aku bertemu dengannya, kira-kira apa yang akan ku lakukan? Ah, biarlah semua mengalir apa adanya :smile .


Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Tentang Cinta yang Tak Kesampaian/Terpendam

Berani Cerita #02 : Rama

Dalam suasana malam yang mencekam di tengah hutan, beberapa orang berlarian tak tentu arah. Tak ada cahaya, hanya gelap yang menyapa.

DOR!

Suara tembakan melesat jauh dikegelapan malam. Krek! Gedebug! Perlahan terdengar jelas suara ranting yang tertindih tubuh yang ambruk lemah tak berdaya. Aku berlari mendekat, memastikannya. Apa dia baik-baik saja atau malaikat maut telah mencabut nyawanya?


"Dia mati. Bawa mayatnya. Akhinya kita bisa istirahat setelah berlari seharian ini," ucapku pada anak buahku.
"Siap Inspektur!" jawab mereka serempak.


Malam ini, tepat saat bulan purnama bersinar. Seorang buronan pelaku pembunuhan, mati akibat timah panas yang bersarang di dadanya. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Aku akan pulang, menemui bayiku yang lahir ke dunia pagi tadi saat aku sedang bertugas.

***
Delapan tahun kemudian.

Rama anak laki-lakiku duduk manis di sampingku. Dia terlihat begitu gagah diusianya yang masih sangat muda. Dari kecil hingga usianya yang kedelapan tahun, aku selalu mengajarinya tegas dan berwibawa seperti ketika ayahku mendidikku waktu kecil dulu. Silfia, istriku sering protes. Katanya aku terlalu keras dalam mendidik Rama. Aku mencoba memberikan jawaban yang logis. Bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya? Aku hanya menerapkan pendidikan ketegasan, kedislipinan seperti yang sering diajarkan oleh orang tuaku dulu.


Suasana sudah ramai. Perkumpulan antar jendral ini selalu diadakan setiap tahun dan setiap orang slalu memamerkan kehebatan anak-anaknya. Aku yakin betul, anakku pasti akan menjadi seperti yang ku mau. Aku telah melakukan yang terbaik untuknya.


Rama pergi menuju panggung acara seperti anak-anak yang lain. Semua anak-anak jendral yang hadir akan menampilkan keahliannya. Jauh-jauh hari aku sudah mengajari Rama berbagai hal. Mulai dari tenis, golf, berenang, catur, menembak, semua yang sering jendral-jendral lain lakukan. Rama, kelak saat dewasa pasti akan jadi Jendral Bintang Lima sepertiku.


Semua anak tampil memukau dan para orang tua pun bertepuk tangan dengan riuhnya. Kini tiba giliran Rama. Aku sudah bersiap dengan segala penampilannya. Rama, tidak membawa raket, catur, mau pun pistol-pistolan yang ku belikan. Perlahan dia mengeluarkan kertas dan pensil kemudian mencoret-coretkan sesuatu diatasnya.


Perlahan dia memperlihatkan hasil coretannya kepada semua orang. Aku hanya melongo melihatnya dengan sedikit melotot. Semua orang menahan Tawa. Rama yang aku banggakan di depan semua orang dengan segala keahliannya hanya membuat gambar tangan yang tidak ada mutunya dalam acara sehebat ini.



Rama melihatku. Semua orang mencibir, saling berbisik tentang kebodohanku. Aku berkata rama hebat, dia bisa apa saja. Tapi ini? Air mata menetes di pipinya, dia terisak. Perlahan Silfia bangkit dari kursinya, aku menahannya. 


"Biar aku saja yang menjemputnya," ucapku
"Biar aku saja. Aku tak mau kamu memarahinya,"
"Percayalah padaku,"


Aku melangkah mendekati panggung. Rama hanya tertunduk, sepertinya dia takut padaku.


“Sayang, kamu hebat. Ayah bangga padamu,” bisikku sambil memeluk tubuh mungilnya.


Setidaknya, peristiwa pemukulan ketika aku berusia delapan tahun tidak terjadi juga pada Rama. Yah, dalam acara yang sama ayah memukulku karena aku menggambar baju perempuan di depan semua orang.


465 Kata

Quote : 
“Buah jatuh, tidak akan jauh dari pohonnya”
“Ajarlah anak-anakmu, bukan dalam keadaan yang serupa denganmu. Didiklah dan persiapkan lah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu. Mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu.”

Tulisan ini juga diikutkan pada Lampu Bohlam #2 - Pohon

Bapak

Aku sudah sering kali menuliskan sesosok Bu e disini. Bu e, wanita yang hebat, lebih hebat dari siapa pun. Kali ini, aku ingin menulis tentang Bapakku. Seorang lelaki yang hebat dan tangguh. Dulu, Bapak adalah orang yang cukup keras. Dengan kumisnya yang tebal, Bapak cukup terlihat garang. Sauranya keras dan juga lantang. Sering kali Bapak marah saat anak-anaknya bertengkar. Tapi aku selalu percaya, dibalik kegarangannya Bapak adalah sosok penyayang.

Ketika Aku Pergi dari Rumah, entah mengapa sosok Bapak ah yang paling ku rindukan. Bapak sedikit keras kepala, aku juga. Kami sering beradu argument dalam berbagai hal. Dulu jaman aku masih labil, sering kali ingin marah gara-gara kalah omong sama Bapak. Yah beginilah kalau dua orang keras kepala sedang beradu.

Bu e, Bapak adalah orang tua yang hebat. Bapak selalu bekerja keras untuk keluarga. Bapak selalu berperinsip bahwa anak-anaknya harus berpendidikan lebih baik darinya. Semua anak Bapak harus lulus pendidikan minimal. Pendidikan minimal disini bukan wajib belajar sembilan tahun, melainkan minimal untuk bisa masuk kuliah. Empat dari lima anak Bapak yang hidup semua telah lulus MAN. Kini tinggal adikku yang masih duduk dibangku MAN kelas X. Bagaimanapun caranya, tak peduli hutang atau telat membayar, yang penting anaknya bisa sekolah.

Sekarang, Bapak sudah tidak muda. Bapak tidak sekeras dulu lagi. Bapak jauh lebih friendly. Mungkin, semakin tua seseorang, maka sikap bijaksananya akan semakin kuat. Oh iya, yang lebih keren lagi adalah  sudah tiga tahun ini Bapak berhenti merokok.

Kalau ditanya ungkapan cinta apa yang bisa ku berikan kepada Bapak  jujur aku tidak tahu. Bapak bukan sosok pecinta puisi. Bapak bukan orang yang suka basa-basi. Kalau iya ya iya, kalau tidak maka tidak. Yah, ini memang bukan hari Bapak  Tapi toh kapan pun kita bisa menyampaikan terimakasih untuk Bapak kita. Meskipun dia jarang di rumah, bukankah dia bekerja untuk kita? Untuk memberikan nafkah anak istrinya?

Bapak, aku tau kau tak sehebat Habibi
Yang bisa jadi presiden dan menciptakan pesawat terbang
Aku tahu, kau tak seganteng Jet Li
Yang jadi aktor musuh pun ditendang
Kau hanyalah Bapak
Bapakku yang ku banggakan
Bapak, terimakasih atas semua pengorbananmu
Terimakasih atas semua kasih sayangmu
Terimakasih atas cintamu

Maaf, sampai hari ini aku masih merepotkanmu
Dengan kekuatan doa darimu, aku percaya
Semua akan indah pada waktunya


Tulisan ini diikut sertakan dalam Lomba “Ungkapkanlah Cintamu”