Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

BeraniCerita #10 : Surat Cinta Liza



Ayah Liza keluar dari ruang kerjanya sambil mengacungkan sepucuk surat.


“Liza,” katanya, “Aku sedang mencarimu, masuklah ke ruang kerjaku.”



Liza mengikuti ayahnya memasuki ruang kerja, dan ia menduga bahwa apa yang akan disampaikan oleh ayahnya tentu berhubungan dengan surat yang dipegangnya. Mereka duduk berdua saling berhadapan. Liza menyusun kata-kata dalam kepalanya untuk memberikan penjelasan yang tepat.


“Ini surat apa?”

“Surat cinta Yah.” jawab Liza gemetaran.

“Liza, kamu masih 16 tahun, harusnya kamu fokus pada sekolah bukan cinta-cintaan seperti ini."

“Liza mencintainya Yah.”

“Persetan dengan cinta!”

“Pak Aryo baik Yah, dia juga mencintai Liza.”

“Aryo guru bahasa Indonesiamu itu? Come on Liza, pikir ulang semuanya.”

“Memang kenapa Yah? Cinta tak pernah tahu pada siapa akan jatuh.”

“Ayah tidak suka dengan surat cinta gurumu itu."

“Ayah!”

“Bahasa yang dia gunakan kurang romantis. Pada kalimat ini harusnya bisa diganti dengan kata lain. Penulisan EYDnya juga masih banyak yang salah. Katanya guru bahasa, tapi hancur seperti ini tulisannya!” ucap Ayah Liza panjang lebar sambil menunjuk-nunjuk surat merah jambu miliknya.


Liza menarik napas dalam-dalam kemudian mengambil surat merah jambu itu dari meja Ayahnya. Liza membaca ulang surat itu. Dalam hati dia bergumam, kenapa Ayahnya yang orang London itu selalu saja mengomentari surat-surat cinta miliknya?


Ijinkan aku melihat bintangku dalam terang dunianya
Meskipun aku hanya mampu mencintainya dalam gelap duniaku
Dalam gelapku,
Kumasih bisa mencintaimu
Seandainya Sang Maha Pencinta meridhoi
Kita akan menyatukan dua dunia
Terang duniamu dan gelap duniaku
Duniaku duniamu memang berbeda
Tapi aku tahu
Allahlah yang menyatukan kita
Dua Dunia

Senjata Srikandi

Source
Srikandi Modern dan Senjatanya itu seperti aku? Mungkin iya :smile . Dibilang modern banget ngga juga ya, tapi aku berusaha untuk menjadi Srikandi yang berarti. Entah senjata apa yang akan kugunakan, yang jelas bukan panah karena aku ngga punya :uhuk .



Aku sadar, menjadi sosok Srikandi bukan hal yang mudah. Sebagai Srikandi modern, ngga lucukan kalau setiap kita pergi selalu menenteng busur dan panah? Bisa-bisa dibilang freak, atau yang lebih parah malah dikira pencuri ‘Gaman’ di musium :uhuk .


Aku setuju dengan tulisan Mbak Evi yang mengatakan bahwa senjata busur dan panah Srikandi melambangkan kegagahan dalam gemulai kefeminiman. Saat melepaskan anak panah, Srikandi terlihat gagah tapi tetap ayu gemulai. Sosok perempuan kuat yang patut diacungi jempol. Sejago-jagonya kita memanah, bukankah yang kita gunakan adalah ilmu perkiraan? Kita ngga tahu pasti apakah anak panah yang kita lepaskan tepat mengenai sasaran atau ngga. Yang jelas, saat anak panah kita menancap, disitulah takdir kita. Kita memanah sama saja kita memutuskan satu langkah besar.


Takdir besar? Tentu saja. Setiap apa yang kita panah, kita harus bertanggung jawab di dalamnya. Bagaimana jika panah itu melesat ke jantung sang Arjuna? Bisa saja kan sang Arjuna meminta kita menjadi istrinya? Nah lho, kamu mau ngomong apa coba? Nah, maka dari itu kita butuh yang namanya kebijaksanaan dalam menggunakan senjata Srikandi.


Sebenarnya sih, kebijaksanaan bukan hanya digunakan pada senjata, tapi apa pun yang kita miliki selayakna digunakan dengan bijaksana. Seperti ilmu, jika kita pergunakan dengan baik dan bijak, maka manfaat yang kita dapat dan meminimkan madhorotnya.


Sebagai seorang wanita, aku sendiri memang ngga punya senjata ampuh seperti keris atau pistol. Aku hanya punya rasa malu pada Tuhanku dan pada orang lain. Rasa maluku menjadi senjata yang paling ampuh untuk tetap di jalan-Nya. Malu pun harus digunakan secara bijak. Ada kalanya kita dituntut untuk menjadi seseorang yang ngga malu-maluin dengan menampilkan pribadi yang baik. Bukan berarti dalam keadaan terjepit dan tertekan kita harus malu. Pergunakan apa pun yang kita miliki untuk melindungi diri dari mara bahaya.


Senjata yang lain, hem sebagai perempuan aku juga belajar bela diri. Yah yang simple aja sih ngga sampai sabuk hitam :uhuk . Kalau saranku, biar pun kalian para perempuan ngga bisa bela diri mending bawa kapak :uhuk . Ngga ding, bawa benda yang simple aja misalnya obeng, gergaji, cangkul #eh :wek . Kalian bisa bawa cutter, gunting kecil atau alat pemotong kuku. Itu semua benda kecil nan tajam yang ada di dalam tasku. Kalian mau ikutan juga? Sok monggo :smile . Percaya deh, untuk jadi Srikandi ngga perlu bawa senjata busur panah. Tapi ya itu, jangan lupa jaga rasa malumu ya :hepi .


Tulisan ini diikutsertakan pada First Give Away : Jurnal Evi Indrawanto



#8MingguNgeblog 5 : Mungkin Ini Cinta



Cinta pertama, pada siapa? Di mana? Kenapa? Entahlah. Yang jelas, aku tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama. Love at the first sight? Mana mungkin aku percaya kalau belum mengalaminya sendiri? Bagiku, cinta adalah cinta. Cinta hadir karena terbiasa dan adanya waktu. ‘Witing tresna jalaran saka kulina’ menurutku itu. Iya, seperti yang aku rasakan dulu.


Iya, aku sering datang kesana. Ketiga kakakku menuntut ilmu dan tinggal ditempat itu. Suasananya tidak asing, toh banyak yang kenal denganku. Tempatnya bukan tempat yang mewah. Tidurnya pun hanya beralaskan tikar. Kalau kita bawa kasur lantai saja, kasian teman yang lain gara-gara tidak kebagian tempat.


Aku sadar, tinggal jauh dari orang tua dan rumah bukanlah hal yang mudah. Sebulan pertama aku disana, setiap akan tidur aku selalu menangis. Kakak perempuanku, mana tahu? Aku menyembunyikan tangis dalam bantalku. Teman? Mereka sama, menangis juga. Teman dekat? Tak ada. Aku sendiri hanya sendiri. Dulu Kakak perempuanku lebih dekat dengan orang lain dari pada denganku. No problem, aku memang terbiasa sendiri.


Rumah keduaku, tempat aku menuntut ilmu. Tempatku menghabiskan waktu. Aku tak pernah sadar kapan cinta itu muncul. Aku hanya tahu, aku nyaman disana. Setidaknya ada sebagian kecil yang peduli denganku. 


Tak ada cinta yang sempurna. Tak ada cinta yang luput dari cobaan. 


Sepeninggalan Kakak-kakakku, aku benar-benar sendiri. Satu hal yang sulit hilang, keegoisanku. Aku kurang bisa berbaur dengan teman-teman yang terlalu banyak bicara dan tertawa. Aku enggan sekali bermain dan memilih untuk tidur. Ketika perlahan-lahan hampir semua orang menjauhiku, satu hal yang aku yakini, tempat itu selalu bisa menerimaku.


Semakin hari, kejenuhan menuncak. Aku lelah dengan keadaan itu. Bapak, Bu e, aku ingin pindah dari tempat itu. Setiap kali aku ingin mengutarakan keinginan itu, nyatanya Bu e, Bapak seolah tahu dan menasihatiku. Aku bertahan lagi, bukan untuk diriku tapi untuk kedua orang tuaku.


Ketika aku lulus MTsN, aku senang sekali. Bukan karena kelulusan dan nilai yang lumayan. Tapi lebih karena aku bisa pergi dari ‘Penjara Suci’ itu. Tempat yang aku sanjung, tapi juga tempat yang menyimpan banyak kenangan pahit, manis dan asam. Belum sampai pengumuman pun aku kabur, pergi dari sana. Rasanya, semua terbebas seolah aku bukan lagi tawanan.


Setelah setahun keluar dari ‘Penjara Suci’, aku mendapat banyak pengalan di luar. Aku yang terbiasa berjalan kaki harus rela naik turun angkot. Harus mau kepanasan, dan harus mau mencari mushola dikeramaian pasar agar tetap bisa solat pada waktunya. Hanya itu? Ya, just it.


Saat kenaikan kelas XI MAN, aku memutuskan untuk masuk ‘Penjara Suci’ lagi. Bukan di tempat yang sama, aku ingin tempat yang berbeda. Setelah beberapa waktu disana, aku baru menyadari. Tempat baruku sungguh berbeda dengan tempatku dulu. Rasanya, jika waktu bisa diputar, aku ingin kembali pada ‘Penjara Suci’ ku yang dulu. Mungkin ini cinta yang terlambat. Disadari ketika tak lagi bersama. Tersadar ketika keadaan mungkin jauh lebih baik dari yang dulu.


Mulai saat itu, aku belajar lagi tentang mencinta. Bukan mencintai manusia, tapi mencintai tempat dimana kita tinggal. Tempat kita bernaung, tempat kita belajar dan istirahat. Semua yang terjadi tak perlu disesali. Yah, aku mengulang untuk mencintai, tentu saja itu bukanlah hal yang mudah. Tapi aku selalu percaya, cinta hadir karena terbiasa. Cinta pertama pada ‘Penjara Suci’ sebuah pesantren kecil tempatku menuntut ilmu. Rindu, jelas masih ada. Paling tidak, saat idul fitri aku masih berkunjug kesana. Cinta itu datangnya dari hati yang tulus. Mungkin ini cinta dan masihkan aku mencintainya? Tentu saja :luph .