Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

Rasa Tak Terucap


"Apa? Putus? Aku ngga mau Mas."

Aku memalingkan wajahku, perempuan itu masih terisak sambil melihatku.

"Kamu bilang kenapa? Aku sudah terlambat haid 4 bulan Mas. Mungkin saja aku hamil." ucap perempuan itu dengan sedikit berteriak.

Aku memasang pendengaranku, jelas sangat jelas. Hamil itu apa? Tanyaku dalam hati.

"Aku ngga mau gugurin janin ini. Dia berhak hidup dan tumbuh besar. Bukankah kita sudah cukup berdosa dengan melakukan perbuatan laknat itu? Aku ngga mau nambah dosa lagi."

Sedetik kemudian, sentuhan hangat menjalar diseluruh tubuhku. Ada desiran rasa yang jelas tak terucap namun begitu terasa hangat. 

"Ibu Dewi, silakan masuk."

"Iya suster. Mas, aku matikan dulu telfonnya. Aku mau meriksain janin ini."

Perempuan itu bangkit dari kursinya.

"Sayang, maafkan ayahmu ya. Ibu akan menjagamu selalu." bisik perempuan itu sambil mengelus bagian yang menutupi tubuhku.

Note : 131 kata, ditulis untuk “Tantangan Menulis #Nguping” @JiaEffendi & Lampu Bohlam #10 - Terlambat

BeraniCerita #10 : Surat Cinta Liza



Ayah Liza keluar dari ruang kerjanya sambil mengacungkan sepucuk surat.


“Liza,” katanya, “Aku sedang mencarimu, masuklah ke ruang kerjaku.”



Liza mengikuti ayahnya memasuki ruang kerja, dan ia menduga bahwa apa yang akan disampaikan oleh ayahnya tentu berhubungan dengan surat yang dipegangnya. Mereka duduk berdua saling berhadapan. Liza menyusun kata-kata dalam kepalanya untuk memberikan penjelasan yang tepat.


“Ini surat apa?”

“Surat cinta Yah.” jawab Liza gemetaran.

“Liza, kamu masih 16 tahun, harusnya kamu fokus pada sekolah bukan cinta-cintaan seperti ini."

“Liza mencintainya Yah.”

“Persetan dengan cinta!”

“Pak Aryo baik Yah, dia juga mencintai Liza.”

“Aryo guru bahasa Indonesiamu itu? Come on Liza, pikir ulang semuanya.”

“Memang kenapa Yah? Cinta tak pernah tahu pada siapa akan jatuh.”

“Ayah tidak suka dengan surat cinta gurumu itu."

“Ayah!”

“Bahasa yang dia gunakan kurang romantis. Pada kalimat ini harusnya bisa diganti dengan kata lain. Penulisan EYDnya juga masih banyak yang salah. Katanya guru bahasa, tapi hancur seperti ini tulisannya!” ucap Ayah Liza panjang lebar sambil menunjuk-nunjuk surat merah jambu miliknya.


Liza menarik napas dalam-dalam kemudian mengambil surat merah jambu itu dari meja Ayahnya. Liza membaca ulang surat itu. Dalam hati dia bergumam, kenapa Ayahnya yang orang London itu selalu saja mengomentari surat-surat cinta miliknya?


Ijinkan aku melihat bintangku dalam terang dunianya
Meskipun aku hanya mampu mencintainya dalam gelap duniaku
Dalam gelapku,
Kumasih bisa mencintaimu
Seandainya Sang Maha Pencinta meridhoi
Kita akan menyatukan dua dunia
Terang duniamu dan gelap duniaku
Duniaku duniamu memang berbeda
Tapi aku tahu
Allahlah yang menyatukan kita
Dua Dunia

Senjata Srikandi

Source
Srikandi Modern dan Senjatanya itu seperti aku? Mungkin iya :smile . Dibilang modern banget ngga juga ya, tapi aku berusaha untuk menjadi Srikandi yang berarti. Entah senjata apa yang akan kugunakan, yang jelas bukan panah karena aku ngga punya :uhuk .



Aku sadar, menjadi sosok Srikandi bukan hal yang mudah. Sebagai Srikandi modern, ngga lucukan kalau setiap kita pergi selalu menenteng busur dan panah? Bisa-bisa dibilang freak, atau yang lebih parah malah dikira pencuri ‘Gaman’ di musium :uhuk .


Aku setuju dengan tulisan Mbak Evi yang mengatakan bahwa senjata busur dan panah Srikandi melambangkan kegagahan dalam gemulai kefeminiman. Saat melepaskan anak panah, Srikandi terlihat gagah tapi tetap ayu gemulai. Sosok perempuan kuat yang patut diacungi jempol. Sejago-jagonya kita memanah, bukankah yang kita gunakan adalah ilmu perkiraan? Kita ngga tahu pasti apakah anak panah yang kita lepaskan tepat mengenai sasaran atau ngga. Yang jelas, saat anak panah kita menancap, disitulah takdir kita. Kita memanah sama saja kita memutuskan satu langkah besar.


Takdir besar? Tentu saja. Setiap apa yang kita panah, kita harus bertanggung jawab di dalamnya. Bagaimana jika panah itu melesat ke jantung sang Arjuna? Bisa saja kan sang Arjuna meminta kita menjadi istrinya? Nah lho, kamu mau ngomong apa coba? Nah, maka dari itu kita butuh yang namanya kebijaksanaan dalam menggunakan senjata Srikandi.


Sebenarnya sih, kebijaksanaan bukan hanya digunakan pada senjata, tapi apa pun yang kita miliki selayakna digunakan dengan bijaksana. Seperti ilmu, jika kita pergunakan dengan baik dan bijak, maka manfaat yang kita dapat dan meminimkan madhorotnya.


Sebagai seorang wanita, aku sendiri memang ngga punya senjata ampuh seperti keris atau pistol. Aku hanya punya rasa malu pada Tuhanku dan pada orang lain. Rasa maluku menjadi senjata yang paling ampuh untuk tetap di jalan-Nya. Malu pun harus digunakan secara bijak. Ada kalanya kita dituntut untuk menjadi seseorang yang ngga malu-maluin dengan menampilkan pribadi yang baik. Bukan berarti dalam keadaan terjepit dan tertekan kita harus malu. Pergunakan apa pun yang kita miliki untuk melindungi diri dari mara bahaya.


Senjata yang lain, hem sebagai perempuan aku juga belajar bela diri. Yah yang simple aja sih ngga sampai sabuk hitam :uhuk . Kalau saranku, biar pun kalian para perempuan ngga bisa bela diri mending bawa kapak :uhuk . Ngga ding, bawa benda yang simple aja misalnya obeng, gergaji, cangkul #eh :wek . Kalian bisa bawa cutter, gunting kecil atau alat pemotong kuku. Itu semua benda kecil nan tajam yang ada di dalam tasku. Kalian mau ikutan juga? Sok monggo :smile . Percaya deh, untuk jadi Srikandi ngga perlu bawa senjata busur panah. Tapi ya itu, jangan lupa jaga rasa malumu ya :hepi .


Tulisan ini diikutsertakan pada First Give Away : Jurnal Evi Indrawanto