Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

Titik Balik Kata Sederhana

Bismillaahirrahmaanirrahiim....

Dalam setitik kisah berbalut setitik cinta adalah tag line bawah dari blog Sisi Lain. Dalam kitab yang pernah saya pelajari, Al Qur'an dikumpulkan dalam surat Al Fatihah. Al fatihah dikumpulkan dalam bismillah. Bismillah dikumpulkan dalam satu titik di huruf ba. Jadi pada dasarnya, Al Qur'an adalah sebuah titik yang luar biasa.

Dalam hidup, saya merasakan banyak titik balik. Titik-titik yang hadir secara perlahan. Saya yang labil belajar untuk lebih dewasa dari saya yang lalu.

Lewat kata sederhana 'Bismillah' saya belajar untuk konsisten. Ketika saya menulis fiksi, curhatan, saya memulainya dengan Bismillah. Ketika saya menulis review di Jendela Rumah Jiah http://bacaanjiah.mywapblog.com/, saya juga mengawalinya dengan Bismillah.

Bismillah seperti batasan tersendiri bagi saya dalam menuangkan keliaran pikiran saya. Dari Bismillah saya belajar untuk lebih mengendalikan diri dalam berkata dan menulis.

Saya jaim, iya. Bagaimanapun saya ini perempuan, masih single, dan ya saya mengendalikan mulut saya. Kebanyakan orang tentu saja akan menilai dari apa yang keluar dari mulut saya.

Saya berusaha untuk tidak mengeluhkan hal remeh temeh tentang hidup. Mengumpat di blog, medsos sebisa mungkin saya hindari. Bukan berarti saya tidak punya masalah. Hanya saja, saya berusaha memanage curhatan dengan lebih halus.

Titik balik Bismillah jelas sangat besar pengaruhnya bagi saya. Apa saya sudah puas? Tentu saja belum. Saya berdoa semoga ada titik balik lagi dalam hidup saya dan menjadikan saya orang yang lebih baik.

Tulisan ini diikutsertakan di dalam #MGANia bulan Maret 2015

Nihil

Bismillaahirrahmaanirrahiim....

***

Setiap guru selalu ingin melihat anak-anak didiknya sukses. Niatnya memberikan mereka yang terbaik sehingga kelak berguna di masyarakat. Persaingan antar kelas pun tak terelakkan. Kelas A dengan pengajar tegasnya, sementara Kelas B dengan pengajar santainya.

Aku mengintip anak-anak Kelas A dari lubang pintu penghubung. Kelas kami memang bersebelahan. Tampak mereka sedang sibuk ulangan, sementara kelasku sedang bersorak karena wali kelas meninggalkan tugas.

Persaingan antara Kelas A dan Kelas B terjadi sejak kami masih kelas satu. Hingga kelas enam ini, tak ada perubahan yang berarti. Yang tambah gila mungkin hubungan saling silang di kelas kami. Anak Kelas A suka Kelas B atau sebaliknya. Cinta monyet dan mereka memang anak monyet.

Aku mencoba mengintip sekali lagi. Papan absensi mereka tidak kosong seperti papan kelasku. Sekretaris kelas malas berkotor-kotoran dengan kapur tulis, makanya papan absen kelasku kosong. Dalam papan Kelas A tertulis Nihil. Weit! Siapa Nihil? Anak baru masuk Kelas A! Kenapa bukan Kelas B?

Bel istirahat berbunyi. Anak-anak sibuk sendiri. Mereka yang uang sakunya banyak, jajan ini itu. Aku tak ambil pusing. Ketika guru sudah keluar dari Kelas A, buru-buru kubuka pintu, menghampiri anak yang duduk di bangku belakang.

"Ada anak baru?"
"Nggak ada tuh. Kenapa?"
"Itu, di papan absen ada nama Nihil. Nihil siapa?"
"Nihil ya Nihil!"

Dia pun berlalu meninggalku. Pertanyaanku belum terjawab. Siapa Nihil?

Aku melihat sang Bintang Kelas A duduk setelah jajan. Kuhampiri dia. Dia teman bermainku saat kecil. Pasti dia mau memberi tahu siapa Nihil itu.

"Nihil tidak berangkat ya?" aku mulai bertanya.
"Apa?"
"Nihil. Dia sakit apa?"
Dia menatapku jengah, "Nihil ya Nihil!"

Sial. Kenapa mereka berkomplot menyembunyikan si Nihil? Sehebat apa Nihil itu?

Hari berlalu, waktu berganti, aku mengintip papan absen lagi. Di sana Nihil tak lagi tertulis. Nama anak lain yang mengisi dengan keterangan ijin.

Aku bergegas pura-pura ke kamar mandi. Dengan begitu, Kelas A kulewati dan aku bisa mengabsen satu-satu nama mereka dari jendela kaca. Misi besar mencari Nihil dimulai!

Kuabsen satu-satu, bangku demi bangku di Kelas A. Semua lengkap kecuali anak yang ijin dan si Nihil. Kalau Nihil tidak tertulis di papan absen, di kelas tidak ada, lalu ke mana dia?

Dengan kerendahan hati dan rasa penasaran, aku pun bertanya pada Bu Guru tentang siapa Nihil. Dengan lembut Beliau menjawab bahwa Nihil itu tidak ada. Artinya tidak ada yang tidak berangkat.

Aku berlalu, tersenyum malu-malu. Nihil itu tidak ada dan ternyata aku sudah menghabiskan waktu mencari sesuatu yang memang tak pernah ada. Bodohnya.

***

Notes:
Ini sungguhan kisah saya. Beberapa waktu lalu untuk pertama kalinya saya bercerita pada Mbak Susi, cerita santai sebetulnya. Saya yang memang bodoh tidak ketulungan mencari siapa Nihil. Malu? Tidak. Meski terlambat, toh akhirnya saya tahu siapa atau tepatnya apa itu Nihil.


Dan kenapa teman saya tidak menjelaskan siapa Nihil? Mungkin mereka hanya tahu Nihil dan tidak bisa menjelaskan arti Nihil.



Sejujurnya saya lupa siapa yang memberitahu arti Nihil. Sepertinya bukan Bu Guru. Kenapa saya memberika ending bertanya pada Bu Guru? Ya biar keren saja :uhuk. Untuk kamu yang saya lupa, terima kasih atas pengetahuan tentang Nihil.



Kadang dalam hidup, kita serius sekali mencari sesuatu yang tidak ada. Menghabiskan waktu hanya untuk Nihil. Mencari kesalahan demi kesalahan untuk menjatuhkan orang lain. Padahal, ketika kita mencari kekurangan orang lain, sebenarnya yang terjadi adalah kita sedang berusaha menutupi kekurangan kita.



:smile :hai

Pintar Tapi Bodoh

Bismillaahirrahmaanirrahiiim....


Menyebut seseorang dengan kata bodoh itu seperti merendahkan. Saya sendiri dari dulu berusaha untuk memanggil seseorang dengan namanya, nama yang baik. Pernah ada teman sekolah namanya Udin, tapi punya julukan Manuk. Waktu saya absen (Sekretaris mode on) saya tetap memanggilnya Udin. Intinya sih saya tidak nyaman dengan panggilan jelek.


Bergulirnya waktu, Mbak saya yang nomor 2, Mbak Ita, sering kali menyebut saya pintar tapi bodoh. Awalnya jelas tidak nyaman. Kenapa harus bodoh?


Saat sekolah, saya sering dapat rangking. Mungkin karena alasan inilah saya dulu disebut pintar. Pintar dalam versi nilai yang lebih tinggi dari siswa lain. Dalam hal berbau fisik, apa saya juga pintar? Tidak. Saya bodoh. Saya tidak terlalu suka olahraga.


Apapun yang terjadi, bagi Mbak Ita, saya ini tetaplah adiknya yang bodoh. Adik yang ketika kelas lima SD tidak bisa membedakan kata dan kalimat sehingga saat diminta guru menulis kalimat dengan kata kerja, saya hanya menambahkan imbuhan dan akhiran dalam kata kerja.


Mbak saya mengomel panjang saat saya yang masuk IPA bertanya bagaimana cara ayam atau bebek kawin. Saat itu kami tidak sengaja melihat ayam kawin, ayam betina dinaiki ayam jantan, tengkuk ayam betina dicucuk paruh si jantan. Mbak Ita geram, kenapa saya bodoh sekali?


Apa akhirnya saya tahu? Ya :shy.


Dan akhirnya, apa sekarang saya sudah pintar lagi? Entahlah! Tinggal dilihat standar kepintaran mana yang digunakan.


Jujur, selain kurang waras, saya ini merasa bodoh, bodoh sekali. Saat membaca buku X, ternyata pengetahuan saya tidak seberapa. Semakin ke sini, pengetahuan saya ternyata minim. Saya masih harus banyak belajar. Belajar dari buku, dari kalian, dari alam, dan dari hidup yang terus berkembang.


Saya hanya bisa berdoa, semoga di sana, jauh di sana, ada yang mau menerima ketidaknormalan saya, ketidakwarasan pikiran saya dan juga kebodohan saya. Bukan kah cinta itu menerima kekurangan? :uhuk :smile :shy :hai.

Anak Ibu

Bismillaahirrahmaanirrahiim....

***

Tarik napas, embuskan. Tarik lagi, embus! Aaaa!!! Kenapa suaraku aneh? Kuraba leherku. Apa ada radang ya? Bisa gawat kalau begini. Besok aku lomba menyanyi. Kalau suaraku tidak kembali, bagaimana aku bisa menang?

"Hei, ada apa, Sayang? Ibu kaget denger teriakan kamu," Ibu melongok membuka pintu kamarku.

"Suara Dani aneh, Bu. Padahal besok Dani ada lomba nyanyi," jelasku.

Ibu menghampiri dan duduk di sebelahku. Ranjangku berdecit, sedikit protes dengan beban tubuh kami.

"Coba buka mulutnya!" Kubuka mulut, Ibu memeriksanya.

"Tidak ada yang aneh. Badan kamu juga tidak panas," kata Ibu seraya menyentuh dahi dan leherku. Lalu aku kenapa?

"Astaga! Jangan-jangan kamu mulai puber! Kenapa Ibu sampai tidak sadar dengan perubahan kamu? Maaf kan Ibu ya!" Aku mengangguk sementara Ibu mengelus kepalaku.

Ibu menjelaskan ketika anak laki-laki memasuki usia akhir SD mereka mengalami puber. Ibu bilang itu semacam peralihan dari anak-anak ke remaja. Suaraku yang sedikit serak itu salah satu ciri puber. Aku mengangguk sekenanya.

Harusnya saat ini Ayah yang mendampingiku. Akan jauh lebih mudah melihat langsung perubahan nyata seorang laki-laki. Saat aku bertanya tentang Ayah, Ibu menunduk sedih. Tak ada penjelasan. Ibu tersenyum lalu pergi.

Pernah aku melihat Ibu menangis diam-diam di kamarnya. Ketika aku mengintip, terlihat Ibu memegangi selembar foto. Wanita berkebaya putih berjarik coklat yang sedang tersenyum.

Ketika melihatku, Ibu menyembunyikan foto itu. Aku berlari ke arahnya. Tangannya dengan sigap mendekapku. Wajahku bersembunyi di dada datarnya yang naik turun menahan isakan. Aku mendongak, tanganku terulur mengahapus air mata yang ada di pipinya turun ke leher dengan sedikit tonjolan di tengah. Tidak peduli siapa Ayahku, aku tetap anak Ibu.

***

Notes:
Lewat fiksi saya jadi anak-anak, cowok lagi!!! Eh, dah sering ding jadi 'aku' cowok :wek :uhuk :hai

“Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis FlashFiction – Tentang Kita Blog Tour”

(Bukan) Kartu Ajaib

Bismillaahirrahmaanirrahiim....

Saya bukan penggemar Kartu Tarot, Kartu Remi atau kartu lainnya. Tapi, saya masih menyimpan beberapa kartu yang dulu sempat ajaib di dompet saya.

Kenapa Kartu Ajaib?


Well..., karena dulu belum punya KTP, jadi sebagai pelajar saya punya Kartu Anggota/Kartu Siswa. Pernah juga nyantri, jadi punya Kartu Santri.

Sekarang ini kartu yang paling sering digunakan ada dua. Pertama KTP, kedua Kartu Perpustakaan Daerah.

Karena bukan pelajar atau mahasiswa, KTP atau tepatnya E-KTP sering digunakan sebagai identitas. Ngurus ini, itu yang jelas kalau ngurusin badan tidak perlu KTP.

Untuk Kartu Perpustakaan, sebenarnya saya baru punya setahun lalu. Padahal kalau boleh curhat, saya mengidam-idamkan punya kartu itu waktu masih kelas X :uhuk. Kartu itu dibuat secara gratis. Kita tinggal minta formulir, isi, jangan lupa pas foto dan kita bisa langsung cari petugas.

Bagi saya, punya Kartu Perpustakaan itu penting. Ya karena saya suka baca, uang pas-pasan untuk beli dan butuh buku untuk direview di Jendela Rumah Jiah. Maklum, buku, novel yang saya punya tidak terlalu banyak, jadi ya perpustakaan sangat membantu.

Untungnya, setiap sabtu saya mengikuti kelas AMJ. Paling tidak seminggu sekali bisa menyambangi si perpus.


Doa saya, maunya bisa bolak-balik ke perpus, baca sampai tidur, dan bisa konsisten dalam kebaikan. Maunya juga, kartu ajaibnya bertambah. Bisa jadi ATM lebih dari 1 biji, kartu kredit no limit, kartu asuransi, dih masih banyak kartu ajaib lainnya #MimpiModeOn :uhuk.

:hai

Namanya, Azzam

Bismillaahirrahmaanirrahiim....

Namanya Azzam, lahir di Pati, 15 November 2014. Dia keponakan baru saya :uhuk. Ganteng? Iya dong! Kan cowok :smile.

Waktu dia 8 bulan dalam kandungan, saya sempat beberapa hari menemani dia, Mbak saya sebenarnya :uhuk. Ketika sore sekitar jam lima, sejam dari kelahirannya, Mbak nelfon memberi kabar. Magrib di Jepara kita otw ke Pati.

Bayi Azzam merah, kecil kelihatannya, tapi beratnya 3,6 Kg. Azzam lahir di Puskesmas Batangan, Pati tepat sehari sebelum ultah Mbak Ita, ibunya.

Selama dua minggu saya stay di Pati, menemani Mbak Ita. Seneng, soalnya bisa bantu ngemong Azzam dan Zahro' aka Lala, kakaknya.

Azzam sendiri adalah nama usulan saya :uhuk. Tahu KCB kan? Nah! Saya suka sosok Azzam. Muhammad Azzam Al Aufa, lengkapnya. Al Aufa itu sumbangan dari Omnya, Ali.

Maret tanggal 14 lalu, untuk pertama kalinya Azzam ke Jepara. Dari foto perkembangan, dia berubah. Dari merah, hitam dan sekarang kulitnya agak putih.

Azzam juga punya lesung pipit kecil di dekat bibir, persis seperti Ibunya. Nanti kalau sudah besar, saya yakin pasti banyak cewek yang suka :luph.

Kangen Azzam.... Ya sudahlah :hai.



#FFRabu - Perempuan Berlipstik Merah

Bismillaahirrahmaanirrahiim...

***

Kubanting keranjang cucian. Baju-baju kotor berhamburan. Seragam sekolah anak, daster, celana dan kemeja putih suamiku dengan bekas lipstik warna merah di ujung kerahnya.

Ini bukan kali pertama aku menemukan noda lipstik di bajunya. Aku bersabar, mungkin itu lipstikku. Tapi noda kali ini dari baunya saja aku yakin itu lipstik mahal.

Bagaimana aku tidak tambah penasaran kalau hampir setiap hari dia pulang pagi? Ya walaupun uang belanja yang dia beri sekarang bertambah.

"Bu, lihat deh! Fotonya cantik ya?"

Kuhampiri Angga yang membuka tas Ayahnya. Itu pasti foto selingkuhannya.

Kulihat gambar lelaki tambun dengan perempuan berlipstik merah bergelayut manja. Gila! Suamiku waria!

***

#FFRabu @mondayff