Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

Arek Niar Sing Ayu

Yen awan tansah kelingan
Wengi kegowo ngimpi
Sliramu angreridu ati

Lintang-lintang lan rembulan
Rungokno suaraning ati
Aku sing nandang kasmaran

Sayang…sayang, sing tak sayang
Kangen…kangen, kangene atiku
Endahe wengi iki, aku tansah kelingan
Nyawang sliramu, lan sesandhingan
Tresnane atiku mung kanggo sliramu
Tresnane atiku mung kanggo sliramu

Sayang Sayang ~ Safitri (Lagu Hausyang-hausyang)


“Masya Allah, ayune Niar kui...”
“Tenane Mar?”
“Wis tah delengen kui. Niar kui ciptaane Gusti Allah sing Subhanallah...”
“Kue naksir?”
“Ah, jo ngomong-ngomong ah, isin tenan aku,”
“Amar, tenan kue naksir Niar?”
“Sttt ojo banter-banter. Mundak krungu wong akih”

Setengah pingin ngakak tapi seneng ngetake kancaku Amar sing terpesona karo Arek ayu jenenge Niar. Niar pancen ayu tenan. Sak antero sekolah rumangsaku mung siji tok sing ora naksir. Sopo wonge? Aku, babar blas aku ora naksir. Arep naksir kepiye wong aku iki kakak e sing paling ganteng. Sttt tapi ojo ngomong-ngomong soale ora podo ngerti nak aku iki kakak e Niar. 

“Amar, ayo dolanan basket,”
“Emoh ah Fin. Aku kuatir nak kue kalah,”
“Halah gayamu. Nak kue menang, mengko tak ewangi pedekate karo arek Niar sing ayu dewe,”
“Ciyus? Miapah? Mie bakso Fin? Ayolah aku gelem ini,”
“Ah ngono tah,”

Aku karo Amar mlaku nang lapangan basket. Pas banget wis ora panas soale pancen sore. Nak biasane 3 on 3 saiki 1 on 1. Aku pingin mbajal pol ngendi kekuatane si Amar iki. Nak sampe aku kalah, iso digorok Niar pas bali omah.

Set  set, blak, plak Amar pinter ngroyok bal ning tanganku. Aku sampe blingsutan ngadepi gerakane sing lincah tenan. Plung, bale melebu ring. Sitt 1-0.  

Aku beringas, aku kudu menang. Aku melayu rono rene ben Amar ora iso njipuk bal ning tanganku. Wah, posisi apik iki. Pas banget ning three poin. Plung, bale masuk. Ah... Menang aku. Sik-sik, kok Amar ambruk? Wah, njebule si Amar ketiban bal. Cemen iki. Mosok keno bal sitik langsung ambruk?

“Mar, loru tah ketiban bal?”
“Hwa :hwa loru tenan...”
“Halah keno sitik wae kok sampe nangis ngunu. Apamu sing loru? Sirahmu?”
“Hwa atiku sing loru...”
“Ha? Ati?”

Amar iseh gloseran wae. Aku nengok ning mburinan. Lha dalah, si Niar lagi guya guyu karo cowok ganteng sing jenenge Dimas. Pantes wae si Amar loru atine wekekeke

 ***

Setelah berhasil membuat Cerita dengan sedikit bahasa Betawi di All About Nay, Cinderella's Stepsister dan Valentin untuk Nay. Akhirnya, menyusul Misteri di Balik Layar yang menggunakan dialog bahasa Jawa. Kemarin sebenarnya aku cerita sama Bu e tentang banyak yang mengira aku ini Betawi. Bu e bilang sekali-kali aku nulis Jawa lalu diterjemahkan ke Bahasa. See, yang diatas itu akhirnya. Thanks a lote to Mbak Niar yang sudah bikin GA Aku Cinta Bahasa Daerah. Ternyata nulis bahasa daerah bukan hal yang sulit :uhuk

Biar tidak roaming aku kasih terjemahan : 

"Masya Allah, cantiknya Niar itu,"
"Beneran Mar?"
"Sudahlah, lihat itu. Niar itu ciptaan Allah yang Subhanallah.."
"Kamu naksir?"
"Ah, jangan bilang-bilang, malu banget aku,"
"Amar, beneran kamu naksir Niar?"
"Sttt jangan keras-keras. Nanti kedengaran orang banyak,"

Setengah ingin ngakak tapi senang melihat temanku Amar yang terpesona dengan arek cantik yang bernama Niar. Niar memang cantik banget. Ku kira seantero sekolah cuma satu saja yang tidak naksir. Siapa orangnya? Aku, sama sekali aku tidak naksir. Mau naksir bagaimana orang aku ini kakaknya yang paling ganteng. Sttt tapi jangan bilang-bilang soalnya pada tidak tahu kalau aku ini kakaknya Niar.

"Mar, ayo main basket,"
"Ngga mau ah Fin. Aku khawatir kalau kamu kalah,"
"Halah gayamu. Kalau kamu menang, ntar tak bantuin pedekate sama arek Niar yang paling cantik,"
"Ciyus? Miapah? Mie bakso Fin? Ayolah, aku mau ini,"
"Ah gitu dong,"

Aku dan Amar berjalan di lapangan basket. Pas sekali sudah tidak panas soalnya sore hari. Kalau biasanya 3 on 3 sekarang 1 on 1. Aku ingin mencoba sampai mana kekuatannya si Amar ini. Kalau sampai aku kalah, bisa digorok Niar pas pulang ke rumah.

Set set, blak, plak Amar pintar mengambil bola di tanganku. Aku sampai blingsutan menghadapi gerakan yang lincah sekali. Plung, bolanya masuk ring. Sitt 1-0.

Aku beringas, aku harus menang. Aku berlari kesana kemari supaya Amar tidak bisa mengambil bola di tanganku. Wah posisi bagus ini. Pas sekali di three poin. Plung, bolanya masuk. Ah.... Menang aku. Bentar-bentar, kok Amar rubuh? Wah, ternyata si Amar kejatuhan bola. Cemen itu. Masa kena bola sedikit langsung ambruk?

"Mar, sakit ya kejatuhan bola?"
"Hwa :hwa sakit sekali,"
"Halah kena sedikit saja kok sampai nangis begitu. Apa yang sakit? Kepalamu?"
"Hwa hatiku yang sakit,"
"Ha? Hati?

Amar masih gloseran [muter-muter di tanah] saja. Aku menengok kebelakang. Lha ternyata, si Niar sedang senyam-senyum sama cowok ganteng bernama Dimas. Pantas saja si Amar sakit hatinya wekekeke


Cerita ini diikutsertakan pada Aku Cinta Bahasa Daerah Giveaway oleh Niar Ningrum
Aku tresno boso daerah, Sampeyan?

Cerita Tentang Jogja : Jatuh Cinta Sebelum Melihatnya

Pernah kamu jatuh cinta sebelum melihatnya? Hanya dengan mendengar suaranya, membaca tulisannya, melihat karyanya, pernahkah? Bagaimana jika jatuh cinta tanpa melihatnya, tanpa mendengar, tanpa membaca. Inilah cinta, tak pernah melihat tapi hati terasa berdebar saat mendengar namanya disebut.


Yah, aku jatuh cinta sebelum aku melihatnya dan mengenalnya. Jika kamu bertanya kota mana yang aku cinta setelah kota kelahiranku? Aku akan menjawab Jogja.


Jangan kamu tanya alasannya. Apakah cinta memang butuh alasan? Aku belum pernah sedikit pun menginjak tanah Jogja. Aku tak tahu Parangtritis itu seperti apa. Aku tak tahu rasanya makan diangkringan merasakan gudeg Jogja. Aku belum pernah tahu itu.


Jogja sendiri merupakan Daearah Istimewa yang pernah menjadi Ibukota Indonesia tahun 1949. Jogja juga dikenal dengan sebuatan kota pelajar karena banyak sekali universitas disana dan juga mahasiwa-mahasiswinya kebanyakan berasal dari luar pulau. 


Banyak orang yang terpesona dengan medok Jogjanya. Bahkan, banyak sekali film maupun FTV dan sinetron yang mengambil settingnya di Jogja. Oh iya, ada juga teman FBku yang foto-foto bareng artis yang sedang stuting di Jogja. Antara ingin ngakak tapi seneng lihat dia yang narsis.


Aku selalu tersenyum ketika teman-temanku bercerita tentang kota Jogja. Yah kebetulan keluarga mereka memang dari sana. Dulu aku pernah bermimpi untuk melewati studi disana. Aku yakin kebudayaannya tak jauh beda dengan daerah Jepara.


Kemarin pun sebenarnya atasanku merekomendasikanku untuk ikut seminar di Jogja. Karena banyak pertimbangan dan lainnya, aku memilih untuk mundur sehingga temanku yang menggantikannya. Rasanya memang sedikit sulit, tapi aku yakin pasti akan ada waktu untukku bisa merasakan hawa Jogja.


Aku mencintainya bukan karena dia. Dia tetaplah dia yang masih akan di Jogja. Aku pernah menulis FF Tentang Jogja bukan karena dia tapi karena aku memang suka Jogja. Jika nanti aku bisa datang ke Jogja, aku ingin merasakan Masangin melewati beringin kembar di alun-alun Jogja. Lihatlah dengan Dagadu :uhuk


Oh iya, bukankah kemarin aku mendapat buku dari Pak Azzet yang tinggal di Jogja? Bukankah itu artinya Jogja memang dekat? Maukah kamu mengajakku kesana?



Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Cerita Tentang Jogja

Ketika Aku Pergi dari Rumah

Jauh dari rumah itu rasanya kangen setengah hidup. Keluar dari rumah, aku sebagai seorang gadis merasakan yang namanya kehilangan zona aman. Sebenarnya bukan kali ini saja aku pergi. Aku sudah berulang kali pergi dari rumah :uhuk


Bermula saat tahun 2004 aku masuk MTsN yang lumayan jauh dari rumah meski pun masih juga di daerah Jepara. Itulah pertama kalinya aku keluar dan jauh dari kedua orang tua. Sebulan pertama, setiap menjelang tidur air mataku selalu mengalir. Rasanya benar-benar aneh. Padahal di tempat itu aku tidak sendiri. Ada Kakak dan Mbakku, tapi tetap saja aku menangis tanpa sepengetahuan keduanya. Seminggu sekali ketika Bapak Bu e datang, aku selalu memeluk mereka dengan erat. Menumpahkan semua tangis dan rasa rindu yang mendera dalam dada.


Hari-hari selanjutnya, aku sudah bisa menguasai diri. Tidak lagi menangis dan bisa beradaptasi. Setelah Kakak dan Mbakku pergi dari tempat tinggal itu, semua masih normal. Yag tidak normal mungkin karena aku jarang bermain seperti teman-teman sebayaku disana.


Setelah lulus MTsN tahun 2007, aku ingin di rumah just it. Aku ingin lagi merasakan kehangatan rumah yang kemarin terhalang. Aku masuk MAN dikawasan yang sama dengan sekolahku yang dulu. Setahun berlalu, aku tak dapat apa-apa. Dengan pikiran yang lapang, aku menyetujui untuk pergi dari rumah lagi seperti waktu di MTsN.


Aku memulai lagi. Dari tahun 2008 sampai 2010 aku berjuang lagi untuk jauh dari rumah. Bedanya disini aku sudah MAN. Aku mengikuti ekskul dengan segala dilemanya. Di tempat yang berbeda, suasana berbeda, kebiasaan yang berbeda, orang yang berbeda, ngaji yang berbeda dan disinilah aku harus belajar untuk merasakan cinta.


Aku lulus tahun 2010 dan pada bulan Agustus aku mulai bekerja di sebuah Showroom di Sentral Ukir Jepara. Meski setiap hari bekerja, saat pulang dan di rumah kadang aku dan kedua orang tuaku masih saja berselisih.  Kadang aku berfikir, bukankah lebih enak jauh dari rumah seperti dulu? Jika dulu pergi dari rumah karena alasan efisien dalam jarak tempuh ke sekolah serta hematnya biaya, kini problemnya lebih maju. Terkadang aku bingung harus menjawab pertanyaan orang tuaku tentang suatu hal yang memang aku belum bisa menjawabnya. Saat lelah mendera, aku selalu berdoa semoga aku bisa pergi lagi dari rumah entah untuk bekerja atau untuk sekolah.


Semua terjawab ketika aku memutuskan untuk resign dari Showroom dan memilih bekerja disebuah desa yang agak terpencil yang masih dikawasan Jepara. Yah, aku memilih untuk menginap disana dan pulang sekitar sebulan sekali.


Meski sudah beberapa kali jauh dari rumah, aku dengan malu-malu bilang bahwa aku masih menangis merasakan kerinduan. Aku harus beradaptasi lagi dengan semua hal. Dengan keluarga disana, dengan pekerjaan yang berbeda dan dengan masyarakat yang berbeda pula. Apapun yang terjadi, aku harus bertahan. See, aku sudah sepuluh bulan lebih disana dan yah, semua ternyata baik-baik saja :smile


Dari semua kepergianku, paling lama tidak pulang itu dua bulan di tahun 2009. Padahal biasanya sebulan, kadang dua minggu sampai tiga minggu saja sudah blingsatan ingin pulang :uhuk . Alasannya, biarlah aku sendiri yang tahu hihi :uhuk . Oh iya, dari semuanya juga kepergianku kali ini yang memang terasa berbeda. Aku sering di telfon Bapak sama Mbakku, sering SMS-an sama kakak. Kalau dulu, paling satu dua kali telfon, itu pun dari wartel atau telfon rumah pemilik tempat tinggalku. Dulu memang aku tidak punya HP.  Oh iya, dulu jaman MTsN aku beberapa kali buat surat untuk Bapak Bu e, romantis banget kan? :uhuk . Padahal itu biasanya ngasih tahu pertemuan di sekolah atau minta uang :uhuk


Jauh dari rumah itu mengajarkan kita untuk hidup mandiri dan lebih dewasa. Kita harus bisa memanage apa-apa sendiri termasuk perasaan dan hati. Kita harus menjaga diri sendiri dan menjaga nama baik keluarga kita. Kalau kita bermasalah, bukankah kembalinya pada keluarga kita sendiri?


Jauh dari rumah, ketika aku pergi dari rumah meski makin dekat dengan Kakak, satu hal yang aku sadari, Rumahku itu Surgaku. Aku merindukan kata-kata orang tuanya yang terkesan seperti marah padahal itu perkataan nasihat. Ketika aku makan enak saat jauh dari rumah, semua terasa biasa, sepi. Tapi ketika di rumah, walau pun makan dengan garam, hanya dengan ikan asin dan sambal semua terasa nikmat, sungguh.  Saat di rumah porsi makanku bertambah. Intinya, bersama keluarga itu kebahagiaan yang sederhana namun indah. Mungkin ini adalah hal simple yang menjadikanku Anak Rumahan. Saat diminta memilih untuk pergi melewati tahun baru atau dirumah, kamu pasti tahu apa jawabanku. Yah, rumahku itu istanaku.


Meski sekarang jauh dari rumah. Aku percaya, mereka pun akan selalu merindukanku begitu juga aku :smile . Kalau kamu? Apa aku kapok pergi dari rumah? Tentu saja tidak. Aku masih ingin pergi jauh keseberang sana sebelum aku menikah :uhuk

Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Gendu-gendu Rasa Perantau