Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

#8MingguNgeblog 6 : Budaya

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam



Kamu masih suka bakar kemenyan? Masih suka mandiin keris pakai bunga atau air dengan minyak wangi yang entah apa itu. Apa kamu masih melakukannya? Iya, disaat tertentu misalnya satu suro. Masihkah?


Aku masih ingat itu saat Bapakku dulu beberapa kali melakukan ritual itu. Musyrik? Entahlah. Yang aku tahu, itu bukan ritual pemujaan melainkan hanya sekedar kebiasaan jaman dahulu. Kalau sekarang, sama sekali Bapak tidak pernah melakukannya.


Sebenarnya aku juga galau, antara melakukan sesaji itu dalam rangka demi kebudayaan atau malah berbau unsur syirik atau menyekutukan Tuhan. Sebagai makhluk yang beriman, jelas aku tahu syirik itu dilarang dan termasuk golongan dosa yang tidak diampuni. Tapi kalau menyangkut budaya, aku mau apa?


Masih ingat saat walisongo menyebarkan agama islam? Sedikit dan perlahan tapi pasti mereka mengalirkan unsur islam dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti saat pertunjukkan wayang dimana penontonnya diwajibkan wudhu. Para walisongo juga tidak melarang untuk membakar kemenyan atau lainnya. Ternyata hidup pun fine-fine saja. Berbeda tapi tetap sama.


Memang dua sisi yang tidak bisa dipisahkan antara kebiasaan yang jadi budaya dan identitas bangsa atau justru dianggap bertentangan dengan ajaran islam. Dalam hal ini sepertinya aku butuh pembimbing lagi, butuh belajar lagi karena jujur aku memang kurang tahu. Ini bukan pelajaran sekolah kan ya?


Aku sendiri sih suka mengambilnya sebagai wujud kebudayaan. Kita sebagai manusia dengan berbagai suku dan Negara yang berbeda jelas punya kebudayaan yang berbeda pula. Kita tidak mungkin menghilangkan kebudayaan yang sudah mendarah daging dalam diri kita. Kita sehari-hari juga dicekoki unsure-unsur mistis entah apalah.


Kita tidak bisa toh menghilangkan budaya menggiring kepala kerbau ke tengah laut. Kita juga tidak berhak memberhentikan upacara ngaben, atau upacara lain yang jelas bertentangan dengan ajaran islam. Semua itu aset budaya yang harus tetap dilestarikan agar anak cucu kita tetap bisa menikmati dan tahu budaya bangsanya.


Aku juga ingat bawasanya saat Nabi hidup, beliau juga menghargai orang-orang non muslim. Mereka hidup saling tentram, hormat menghormati kebudayaan agama masing-masing. Untukmu agamamu untukku agamaku.


Kalian jelas berhak memberikan opini tentang apa yang terjadi dengan kebudayaan kita yang tidak sesuai dengan ajaran islam. Itu semua tergantung pribadi, presepsi, keyakinan masing-masing individu. Yang jelas, aku sendiri tidak melarang jika masih ada orang yang hobi membakar kemenyan. Hobi? Bukan, maksudku kebiasaan yang turun temurun itu.


Sebisa mungkin,  aku sendiri tetap berusaha melestarikan budaya bangsa. Jangan sampai nih budaya kita hilang begitu saja atau justru malah di klaim oleh bangsa lain. Lagi-lagi memang tidak lucu jika kita ngamuk-ngamuk gara-gara kehilangan budaya.


Dunia maju, peradaban pun semakin maju pula. Saatnya kita bergerak ke depan untuk mengejar bangsa lain yang sudah meningkat SDMnya. Tapi tetap jangan lupa dengan kebudayaan bangsa dan leluhur yang menjadi identitas negara kita.


Negara-negara lain saja bangga dengan kebudayaannya bahkan mengenalkan budayanya ke Negara lain. Lha kok kita malah mau sih dicekoki budaya-budaya asing yang entahlah. Kamu malu? Kelihatan tidak gaul dengan budayanya sendiri? 


Yuk mari kita modifikasi budaya kita tanpa meninggalkan nilai-nilai positif yang ada di dalamnya. Aku sendiri yakin, banyak yang suka dan tertarik dengan bergam budaya Indonesia yang kita miliki. Jadi, hari ini kamu mau mengembangkan budaya apa? Hey, tapi jangan mengembangkan budaya jam karet dan korupsi ya! :smile .

#8MingguNgeblog 6 : Senior

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam


Pernah jadi kakak yang menindas adiknya? Senior junior itu memang sesuatu. Aku pun mengalaminya. Ini bukan karena penindasan yang dilakukan kakak-kakakku tapi justru aku yang tertindas oleh adikku, dulu.


Menjadi senior itu ada enak dan tidaknya. Kalau sebagai seorang kakak, aku harus mengaku bahwa aku bukanlah kakak yang baik. Dulu aku sering sekali masa bodo dengan kehidupan adikku. Hingga akhirnya, aku baru sadar, teman sepergaulannya justru yang membawanya untuk merokok. Aku sudah sering kali menegur agar menghentikan kebiasaannya itu. Sampai saat ini masih belum ada hasil. Jujur, aku lelah.


Menjadi senior pun tidak harus berusia tua dari juniornya. Beberapa kali aku dapat junior yang jauh lebih tua dari usiaku. Nah, yang jadi masalah disini, dimana aku harus tetap sopan karena usia mereka. Hey, apa mereka baik-baik saja? Tentu saja tidak. Tidak semua junior bersikap baik dengan seniornya. Ada kalanya mereka terlalu sotoy, atau malah merasa lebih tua dan tidak perlu bimbingan seniornya. Dua sisi yang berbeda bukan?


Dulu pernah juga aku mati-matian untuk menghindari yang namanya jadi senior. Aku ingin menikmati hidup sebagai junior. Tapi tahu endingnya? Ya, aku tetap junior disana, tapi usiaku jau lebih senior dibanding mereka. Hingga yang terjadi adalah aku yang sering mengayomi mereka. Apa hal ini mengenakkan? Tentu saja tidak. Banyak yang aku pelajari dan harus menyesuaikan mereka.


Kini aku menjadi senior lagi. Kalau dulu lingkupnya sekolah, kini berubah menjadi lingkungan kerja dan itu cukup melelahkan. Aku ingat dulu saat pertama kerja di tempat kerjaku sekarang, seniorku jarang sekali membimbingku. Kebanyakan justru bosku yang tanpa lelah ngomel sana sini karena aku yang terlalu lemot.


Hampir setiap hari pekerjaan baru, pelajaran baru, omelan terbaru tak lelah dan tak henti menghampiri. Sempat juga ingin menangis tapi entah kenapa air mata pun enggan keluar. Mungkin aku tidak boleh cengeng, harus kuat dan hebat. Aku sadar, ini pilihanku dan aku harus menjalaninya. Yah, ketika senjata Srikandi dilesatkan, saat itulah keputusan telah diambil.


Kini semua berjalan apa adanya. Aku semakin mengerti dan belajar tentang kegagalan, tentang apa yang telah terjadi sebelumnya. Aku tetap berusaha memberikan yang terbaik dan tetap berlaku baik. Bukan hanya untuk diriku tapi untuk orang lain.

Menjadi senior itu, sekarang aku harus lebih sabar untuk membimbing juniorku. Hey, bukan hanya aku yang harus sabar, tapi mereka juga. Jujur, aku bukanlah orang yang telaten mengajari orang lain.


Menjadi senior juga membuatu takut, bisakah aku memberikan contoh yang baik untuk mereka? Aku juga tidak tega kalau mereka terkena bentak-bentak seperti aku dulu. Aku hanya berfikir, cukup aku yang merasakannya, jangan yang lain. Jika mereka ku bimbing dan tidak langsung dibimbing bosku, rasanya aku senang sekali. Hey, kenapa begitu? Entahlah. Paling tidak, aku tidak akan mendengar suara keras omelan di sana sini.


Harus diakui, mau tidak mau kita tetap akan merasakan yang nanya jadi senior. Tapi aku perlu jujur, menjadi senior bukan persoalan gampang. Aku harus lebih bijak dengan juniorku, membimbing mereka dan memberikan contoh yang baik bagi mereka. Aku tidak mau menjadi otoriter, jumawa karena merasa senior. Aku tidak mau menginjak-injak mereka di atas kepentinganku sendiri. Pertanyaannya, sudahkah aku berlaku seperti itu? Jangan-jangan ini hanya pencitraan diri :uhuk .

QUIZ MONDAY FLASHFICTION #3 - On The Street

Credit

Sial! Kenapa harus macet? Desahku.
"Driver! Apa masih lama?"
"Iya Mister Black. Di depan ada truk yang terguling. Semua jalan macet total."
"Apa Red Caffe masih jauh? Aku harus segera sampai disana!"
"Satu 500 meter lagi Mister. Mister bisa pakai ojek."
"Ojek? Shit!"

Ku banting pintu mobil. Aku berlari menembus hujan. Noura pasti lelah menungguku.

Aku berdiri terpaku di sebuah emperan toko. Jalanan depan masih basah dengan air hujan. Red Caffe diseberang jalan.

Aku melihatnya, gadis berpayung hijau itu. Seulas senyum tersungging dari bibirku. Kuraba celana panjangku. Sebuah kotak merah manis berisi cincin dengan berlian ditengahnya. Noura….

Gadis berpayung hijau itu tersenyum padaku. Sejenak kuingin memanggilnya, tapi ada ragu dalam hatiku. Dia berlari, menari di bawah air hujan. Dia mengulurkan payung hijaunya untukku. Dia masih menunggu jawabanku hingga akhirnya aku menggeleng sambil meraba semua sakuku. Hanya ada kotak merah itu.

"Aku tidak punya uang." ucapku

"Huh! Ngomong dari tadi napa Mister. Ditungguin kirain punya duit buat ngojek payung!"


Yuk, ikutan QUIZ MONDAY FLASHFICTION #3 - On The Street"