Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.

Lomba Untuk Sekolah

Kapan terakhir kali membaca Al-Quran dengan suara indah?

Ya ampun! Ini pertanyaan sulit. Saya hanya sebatas mengaji, mengulang-ulang untuk diri saya sendiri. Mungkin terakhir ngaji dengan mikrofon itu ketika ramadan lalu. Well kali ini saya akan bercerita tentang Keponakan yang mengikuti Lomba Untuk Sekolah dan kekecewaan saya di masa lalu. 

Di postingan yang lalu, saya cerita soal Keponakan saat PJJ dan PTM Terbatas hingga Lupa Teman Sekelas. Saat Pembelajaran Jarak Jauh, pernah saya ditelepon Gurunya untuk mengantarkan Keponakan ke sekolah. Saya khawatir dong? Ada apa nih?

lomba untuk sekolah

FYI, nomor saya itu masuk sebagai wakil Wali Murid Keponakan karena saat itu Orang Tuanya belum punya WhatsApp. Itulah kenapa saya yang menerima telepon. Nah ternyata rencananya itu Keponakan mau diikutsertakan untuk Lomba Tilawah Sekolah. Jadi diajak latihan gitu.

Saat dijelaskan, saya tidak langsung memberitahukan itu pada Keponakan. Biar Gurunya sendiri yang menyampaikan. Takut juga dia terlanjur besar kepala dan malah muncul kandidat lain untuk jadi peserta.

Gagal Mewakili Sekolah Dan Rasa Kecewa


Ingatan pun melayang ke cerita saya yang lalu. Saya lupa kapan tepatnya, entah kelas 5 atau awal semester di kelas 6 SD. Waktu itu saya dipanggil Guru Agama. Saya pikir ada apa. Ternyata saya dipilih untuk mewakili sekolah di mata pelajaran tersebut.

Senang? Jangan ditanya. Karena pernah gagal masuk di tiga besar saat lomba mata pelajaran Matematika, rasanya seperti angin segar. Saya ingin menunjukkan bahwa saya bisa memberikan yang terbaik. Begitu pikir saya.

Beberapa hari sesekali saya tidak mengikuti pelajaran karena latihan untuk lomba ini. Termasuk pulang lebih akhir daripada teman lainnya. Saya menjalani ini dengan bahagia sampai Guru Agama memunculkan 2 kandidat lain yang adalah teman saya juga. Kami bertiga latihan bersama.

Tiba hari pemilihan, saya yang awalnya percaya diri mulai meragu. Kenapa? Soalnya pemilihannya menggunakan undian kertas. 3 kertas bertuliskan angka 1,2,3 dan kami diminta untuk mengambil. Sayangnya saya bukan Gadis yang beruntung di waktu itu. Saya mendapatkan nomor 3.

Perasaan kecewa, marah, malu semua bergelayut di hati. Kenapa bukan saya? Saya malu karena sudah sering izin, tapi ternyata tidak terpilih apalagi saya sebagai kandidat pertama. Meski tersenyum, hati saya begitu sakit.

Saat itu, saya tidak banyak memberikan ekspresi. Saya belum bisa mengelola emosi dengan baik. Mau cerita juga tidak bisa. Saya hanya bisa menahan amarah terus menerus. Beruntungnya, saya tidak melakukan hal ekstrim. Ya, saya mencoba menjadi 'Anak yang Baik' di depan semua orang.

Berkaca dari hal tersebut, ketika Keponakan terpilih jadi peserta Lomba Tilawah Untuk Sekolah, saya membuatnya lebih tenang. Saya tidak bercerita soal yang lalu. Saya hanya bilang, mungkin nanti ada peserta lain. Jika tidak terpilih, tak apa. Hanya lomba. Mungkin ini lebih tepatnya untuk ketenangan saya sendiri.

Bagaimana hasilnya?



Gurunya meminta untuk dikirimkan video Tilawah, membaca Al Qur’an dengan suara yang indah dan bagus sesuai surat yang sudah dilatihkan sebelumnya. Surat tersebut adalah At-Tin, surah ke-95 dalam al-Qur'an. Saya membantu Keponakan untuk merekam sampai beberapa kali. Enggak sempurna, tapi tidak buruk juga.

Sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana hasilnya. Mungkin tak masuk juara, saya betulan tidak bertanya dengan Guru atau Keponakan. Dia terlihat santai, enggak terlalu memikirkan hasilnya dan saya menyukai hal itu.

Saya yang dulu tidak, belum mampu mengelola emosi, kini tak mau mengulang hal yang sama pada Keponakan. Prestasi memang penting, tapi sebisa mungkin tidak membebani. Jika dia mendapatkan nilai bagus, saya akan memuji. Jika tidak, ya tak masalah. Mari belajar lagi. Cukup jadi biasa karena jadi Bintang itu sering kali melelahkan.

Kecewa saat tidak mendapatkan apa yang kita inginkan itu sangat wajar. Tak masalah jika kita bersedih sejenak. Kita manusia, bukan robot yang terus mengikuti perintah atau tertawa setiap waktu. Tak apa jika kita tidak baik-baik saja. Dan saya pun masih banyak belajar soal hal ini.


Bagaimana dengan Kalian? Apakah pernah ikut Lomba Untuk Sekolah juga? Menang atau gagal jadi peserta seperti saya? Share cerita Kalian di kolom komentar ya!

Sampai jumpa. Happy blogging!

22 comments

Era Wijaya Sapamama said...

Lomba tuh untuk orang dewasa aja roller coaster banget, apalagi untuk anak-anak ya mba. Semangat terus kakak, isnya Allah kita akan terus berkembang ke arah yang lebih baik

nurul rahma said...

Memang menjadi duta utk lomba sekolah itu pengalaman yg nano nano.
ada rasa senang, bangga bahagia, tapi juga waswas.
yuk yuukk, semangaattt utk kita semua, para ortu, guru, dan anak2.

gustiyeni said...

Pernah jadi siswa teladan mewakili SMP tapi kalah, sedih sih sekolah rasanya mempunyai harapan besar paling tidak bisa 10 besar😭.

Ya semua dijadikan proses pembelajaran

Ainhy edelweiss said...

Betul, prestasi memang hal penting tapi bukan prioritas, yang penting bagi anak adalah proses, dan sebagai orang tua kita perlu menghargai tiap proses, semangat!

Katerina said...

Iya, saya pernah mengalami hal itu. Terpilih tapi tidak tampil. Dulu banget zaman SD, terpilih mewakili sekolah untuk ikut cerdas cermat tingkat provinsi dan masuk TV Palembang. Dari awal sudah dibilangin bakal tampil, dan memang ada 3 orang jadi cadangan. Saya bukan termasuk cadangan. Tapi, beberapa belas menit sebelum acara live dimulai, tiba-tiba saya disuruh mundur, teman saya yang lain yang maju. Woooow tak terkatakan kecewanya. Tapi saya tidak marah. Mungkin karena masih SD ya, belum ada emosi untuk itu. Yang marah malah ibu saya hahahaha

Bunda Erysha (yenisovia.com) said...

Duh kok aku yang baca cerita mba tentang masa lalunya ikut marah juga. Sebel banget ikh ama sistem sekolahnya dulu dan gurunya. Udah capek capek latihan dan minta izin eh ga jadi perwakilan padahal lomba belum dimulai. Harusnya dia amati dulu bener bener sebelum milih. Bukannya mempermainkan perasaan anak yang akhirnya sekarang jadi kayak ninggalin luka tersendiri. Maaf ya mba aku nulisnya gini *lagi emosian wkwkwk 🤣

Nanik nara said...

Saya pernah kabur mbak, nggak mau saat ditunjuk mewakili sekolah.
Jaman SD kan ada lomba cerdas cermat P4, nah saya ditunjuk mewakili sekolah. Tiap hari sepulang sekolah ada pelajaran tambahan. Saya nggak mau datang di pelajaran tambahan yang dilaksanakan di rumah bu guru. Sepulang sekolah, teman-teman lain main, kok saya masih harus belajar.

Hingga pihak sekolah mengirim surat pada orang tua. Lalu saya dilarang main oleh bapak, di suruh ikut pelajaran tambahan persiapan buat lomba. Dengan terpaksa saya ikut. Alhamdulillah masih bisa juara 2 sekecamatan

Ucig said...

Aku pernah tapi nggak jadi lomba. Mirip2 mbaaa. Cuma nggak kenapa2 seneng soalnya nggak kepilih 🤣
Iyaa jadi bintang kadang melelahkan ya mba. Eh aku nggak pernah jadi bintang deh 😆
Smoga ponakannya menjadi anak sholehah amiin

Keke Naima said...

Anak pertama saya waktu SD pernah beberapa kali ikut lomba. Tapi, gak pernah menang. Alhamdulillah dia anaknya juga santai.

Menurut saya ketika anak sudah berkompetisi juga harus mulai diajarkan untuk mau menerima kekalahan. Beberapa kali saya lihat, anak gak kecewa berlebihan ketika kalah. Tetapi, lebih sedih lagi, ketika orangtuanya yang justru gak berjiwa besar.

Eri Udiyawati said...

Waduuh, gak ikut lomba tapi karena pemilihannya masa undian kertas. Hiksss... kalau jaman sekarang, protes ya, Mbak. Pemilihannya kurang pas.

Rach Alida Bahaweres said...

Aku lupa pastinya sih mba. Tapi paling aku ingat tuh yang lomba untuk filateli di bangku SMP. Senang juga ikut berpartisipasi. Tapi bagaimanapun semuanya ada perjalanan atau makna atas apa yang terjadi ya mba

Eni Rahayu said...

It's OK not to be OK, penting sekali ini diyakinkan kepada anak-anak. makasih pelajarannya tentang manajemen emosi dan kekecewaan ya Kak.

Milda Ini said...

Berkaca dari teman anak yang lelah kaena terpaksa tepatnya dipaksa jadi bintang oleh mamanya, saya lalu daya tidak ingin hal itu terjadi pada anak-anak. Saat mereka ikut lomba apalagi mewakili sekolah, tentu saja itu sebuah prestasi, tapi soal menang dan kalah itu bonus, jadi fokusnya pada mempersiapkan lombanya bukan pada prediksi hasilnya, hehehe

Diah Kusumastuti said...

Eh baca tulisan ini aku jadi inget waktu SD dulu bertiga juga sama temenku latihan nembang mocopat. Aku gak kepilih sih akhirnya, dan emang suaraku enggak sebagus suara temanku. Tapi meski agak kecewa aku ya lumayan bisa menerima "nasib" sih. Hihi. Soalnya di mata pelajaran lain aku lebih bagus nilainya. Trus pas lulus aku nomer satu. Jadi kecewanya udah terobati :)
Btw semangat buat ponakan... Semoga sukses yaa :)

diane said...

Pernah sih lomba cerdas cermat jaman SD..Kami bertiga dan kalah donk haha Ya gpp buat pengalaman aja..seru..

Linasophy said...

Seneng dengan keponakannya yang santai dalam ikutan lomba ya mbak, sudah berusaha tapi hasilnya pasrah aja. Saya juga lupa kapan ikutan lomba, tapi rasa cemas dan deg²an masih bisa di inget loh ehehe

echaimutenan said...

tartil maksudnya ya mak. aku sebenarnya kalau tidak menang juga bakal sedih apalagi sudah berusaha huhu. tapi lomba di sekolah ini emang kompetitif ya mak
jujur aku sendiri rada gimana gitu anak diminta untuk ngelomba untuk sekolah

Helenamantra said...

Pas banget bacanya saat anakku hafalan At-Tin. Kalau aku tekankan ke anakku yang penting ia menikmati prosesnya. Perkara dapat nilai berapa itu penilaian dari luar. Ia silakan menilai diri sendiri gimana.

cicifera said...

dulu waktu masih sekolah, sering ikut lomba, lomba dari ektrakulikuler, bukan lomba akademis. kalah atau menang menurutku adalah sebuah pencapaian dari proses. terus berusaha untuk menjadi lebih baik dari kondisi kita saat ini.

lendyagassi said...

Sejatinya orangtua itu memang belajarnya ketika memiliki anak.
Jia sabar banget merawat keponakan. Semoga kelak menjadi pengalaman yang berharga ketika memiliki anak.

Anak-anak bisa belajar banyak dari mengikuti kompetisi. Tapi gak semua anak bisa memahami esensi menang-kalah itu dengan mudah.

Witri Prasetyo Aji said...

Tahu banget rasanya kecewa Mbak, dan yasudahlah. Aku sekarang kalau kecewa ya sedihnya bentar aja, berdoa semoga di lapangan hatinya dan inget hal-hal baik serta mencari kesibukan. Lebih ke berfikir positif, Tuhan bikin kita kecewa pasti ada maksud lain yang lebih baik buat kita. *ah, sok bijak banget aku.

Artha Amalia said...

saya gak pernah ikut lomba apapun karena emang gak menonjol. ahaha. nah pas ponakan saya diikutkan lomba mewarnai, yg antusias malah saya. antar dan tunggui dia. meski kalah, gak masalah. toh dia ada kenangan...