Kian mengaduk-ngaduk makanannya. Sejak tadi, belum satu sendok pun masuk ke dalam mulutnya.
“Riana hamil, aku harus menikahinya.” Kian membuka suara seolah mengerti keadaan sekitarnya.
“Kamu tidak akan pernah menikah dengan Riana.”
Dia menatapku tak mengerti. Mata kami saling memandang. Semenit kemudian Kian tahu apa yang tersirat di mataku. Mata biru lautnya mengiba, aku tak memperdulikannya.
***
Bayi lelaki itu merangkak mendekatiku. Dia berhenti di beberapa langkah dari tempatku berdiri. Pandangan kami beradu. Kurasakan kedua matanya seperti sebilah pedang yang mengoyak-ngoyak pikiranku dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah kulakukan.
“Sayang, lihat! Sepertinya bayi ini menyukaimu.” Riana bersorak menggamit lenganku.
“Benarkah?”
“Sungguh. Dari tadi aku memperhatikannya. Sejak pertama kali kita masuk, dia selalu menatapmu. Kita ambil dia saja ya!?”
“Kita lihat dulu bayi yang lain. Panti asuhan ini punya banyak bayi manis.”
Kutarik tangan Riana menjauhi bayi lelaki itu. Mata bayi itu masih mengawasiku. Aku menarik napas sejenak atas pertemuan tak terduga ini. Aku sudah mati-matian menjauhkannya dari Riana saat dia baru lahir. Tapi kini, bayi itu seolah tahu bahwa Riana adalah ibunya. Sinar mata itu menunjukkan segalanya. Sinar mata biru laut milik Kian, ayahnya yang juga kekasihku yang kubunuh sebelum menikahi Riana, yang kini menjadi istriku.
“Tulisan ini diikutsertakan dalam “Birthday Giveaway “When I See You Again” di blog: http://itshoesand.wordpress.com “
MFF