Jiah My Id

The Power of Anak Kampung

Powered by Blogger.
Showing posts with label FF100Kata. Show all posts
Showing posts with label FF100Kata. Show all posts

Jago Jali

“Jadi, HIV atau Human immunodeficiency virus itu bisa menimbulkan penyakit AIDS. Virus ini bisa menular kalau kita berganti-ganti pasangan  dalam melakukan hubungan seks.” jelas pegawai kesehatan yang memberikan penyuluhan.


Semua orang kampung Kendit ber-o ria sementara Jali yang duduk di pojok belakang berkeringat dingin disekujur tubuhnya. Jali merekam semua perkataan pegawai itu di mana HIV menular karena bergonta-ganti pasangan.


Ayam jago yang dipeluk dibiarkan lari. Jago itu mungkin membawa HIV, pikir Jali.

“Jali! Tegang amat! Kenapa?”

“Habis ini, gue nggak mau liat jago gue lagi itu. Jago gue sering gonta-ganti pasangan. Mungkin dia kena HIV.”


“He? Jadi selama ini, lu…,”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Tema : Parafilia

Demi Ellisha

“Kalau gini udah mirip?”

Aku memandang Reno teman sekamarku dari ujung kaki sampai ujung rambut.

“Sebelas dua belas sama vocalisnya The Purple.”

“Mantap! Kalau gini, si Ellisha pasti mau sama aku. Mukaku, dandananku udah mirip banget.” katanya memuji.

“Jadi, semua demi Ellisha?”

“Pastilah! Dia ngefans banget sama cowok itu. Ya udah, aku pergi dulu ketemu Ellisha. Bye!”

***

Aku menatap layar monitor laptopku terhenti ketika Reno memanggilku.

“Bin, internet kamu nyambung nggak? Pinjemlah. Mau browsingan bentar.”

Reno mengambil alih, mengetik alamat google. Dia mengetik kata kunci Lee Min Ho.

Credit
“Sejak kapan kamu suka Korea?”


“Sekarang Ellisha ngefans sama cowok ini.”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Gagal

Hatiku senang bukan main. Hari ini aku kencan. Rina, cewek yang sudah tiga bulan pedekate denganku akhirnya member sinyal. Senangnya. Kali ini aku menunggu Rina di gang dekat pasar. Ah! itu dia.


“Dit, sudah lama nunggunya?”

“Nggak. Baru juga sampai. Jalan yuk!”


Aku dan Rina baru beberapa meter berjalan terhenti karena seorang bertubuh kekar di depanku. Lengannya bertato. Ototnya menonjol. Rina berdiri di belakangku seperti ketakutan.

“Permisi, boleh lewat, Om?”

“Berani bayar berapa?” tanyanya tegas.

“Aku masih SMP, Om. Nggak punya duit.”

“Kalau nggak punya duit, nggak usah pacaran. Belajar saja di rumah.”

“Tapi, Om…,”

“Rina! Ayo pulang! Belajar saja!”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Notes :
Hiks :hiks . Nggak ada ide sama sekali dengan kata Tato :etc

Virus Pengganggu

Kututup telingaku perlahan. Besok aku akan mengahadapi UTS, aku harus belajar. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi mendengar suara musik yang mengalun dari ruang tengah. Gila! Mama dan Sofia adik perempuanku terjangkit virus. Sofia sengaja menyetel volume tinggi sambil berjoged ria.


Aku seperti orang asing di rumah ini. Mama, Sofia, mereka, ah! Aku sulit menjelaskannya. Aku sama sekali tidak mengerti bahasa mereka. Mereka seperti alien yang masuk ke bumi, merusak tatanan bahasa yang kuketahui.


Kuambil buku-buku untuk materi UTSku besok. Aku harus keluar dari sini sebelum virus itu menyebar ke dalam diriku.


Kubuka pintu kamar.

Annyeong haseyo! Oppa mau ke mana?”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Pementasan

Layar terbuka, penonton bertepuk tangan gembira. Hari ini pementasan TK Bunga Bangsa digelar. Semua orang tua bersorak melihat anaknya berdiri memainkan drama.


Seorang anak dengan kostum rumput memandang ke arah penonton. Matanya menelusuri satu persatu orang tua yang hadir. Dia menunduk, kemana Ayahnya? Harusnya, Ayahnya datang karena hanya Ayahnya yang dia punya.


Pertunjukkan selesai. Si anak terisak.


“Mia!” teriak seorang dari seberang.

“Maafkan Ayah ya?”

Mia berlari ke arah Ayahnya.

“Ayah, pementasan tadi jelek! Untung Ayah tidak datang.”

“Benarkah?”

“Iya, Yah!”

“Ini boneka untuk Mia.”

Mia memeluk Ayahnya. Ayahnya tahu Mia berbohong karena dia mengintip penampilan Mia dengan mata berkaca-kaca.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata


Siklus Hidup

“Ya ampun! Baru juga lima menit dipakaiin baju, kok sudah ngompol lagi! Jadi bayi lagi ini!” teriak suster  padaku.


Aku menelan ludah. Aku kembali kesiklus semula seperti bayi yang tak berdosa. Sayangnya, aku bukan bayi. Bahkan bayi yang kubesarkan dengan sepenuh hati tega meninggalkanku disini. Usiaku senja, tak mengerti apa-apa. Entah masih adakah cinta disana? Di hati anak-anakku?


“Ibu? Sudah makan?” tanya seorang suster lain.

Aku menggeleng.

“Ibu makan ya? Tempat baru, adaptasi dengan hal-hal baru memang tidak mudah. Maafkan suster tadi. Saya akan merawat Ibu karena saya tidak punya ibu.”


Cairan hangat menetes di sudut matanya dan aku memeluknya.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Mantra Hebat

“Kakak! Kamu dimana?”


Aku tertawa geli mendengar suara adikku. Kami main petak umpet dan dia yang jaga. Aku sedang berada di dalam lemari besar tertutup di depan dapur. Aku yakin, adik perempuanku tidak akan menemukanku.


Sesak ternyata didalam sini. Aku keluar saja, toh sepertinya adikku sudah tidak ada. Kudorong pintu dengan kedua tanganku. Astaga! Tidak mau terbuka. Bagaimana ini? Bagaimana kalau Ibu tidak menemukan keberadaanku?

Credit

“Tolong!” teriakku.

Tidak ada yang menyahut. Aku ingin menangis. Kurapal semua mantra yang kuhafal.

“Bismika Allahumma ahya wabismika amuut.”

Pintu kudorong. Tidak ada reaksi. Aku panik, kutendang pintu sambil teriak,

“Allahu Akbar!”

Pintupun terbuka.

“Alhamdulillah!”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Kopi

Vino menyodokan cangkir kopi kepadaku. Moodku benar-benar tidak bagus hari ini.

“Harus berapa kali kukatakan? Aku tidak suka kopi! Kau merusak moodku Vin.”

“Cobalah! Sekali saja. Hujan di luar, aku pikir ini bisa sedikit menghangatkan.”

“Kenapa suka kopi? Pahit tau!”

“Kopi ini tidak terlalu pahit daripada kehidupan yang kita jalani. Dari kopi pahit inilah kita bisa belajar banyak hal. Karena pahit jadi kita bisa merasakan hal manis.”

Udara semakin dingin. Kucoba kopi Vino satu teguk. Pahit! Sementara Vino menandaskan kopi sampai ampasnya.

“Kamu minum ampasnya juga?”

“Enak kok!”

Aku menggeleng tidak percaya.

“Selama minumnya liatin kamu, berasa manis aja Nay.”

Credit

Kopi Pahit

Aneh, secangkir kopi hangat mengepul di atas meja. Biasanya Una Chan membuatkanku secangkir teh. Kenapa hari ini kopi? Mungkinkah Una Chan sudah memahami diriku yang sangat menggilai kopi?

Credit

Kuteguk kopi itu. Ah! Pahitnya luar biasa. Biasanya aku memberikan satu sendok gula dalam cangkirku. Ya, setidaknya ini lebih baik karena Una Chan mau membuatkanku.

“Enak?” tanya Una Chan mengagetkanku.

Not too bad. Terimakasih ya?”

“Sama-sama. Usui Kun, segera habiskan! Setelah ini kencan.”

Aku tersedak. Una Chan mengajakku kencan? Aku tersenyum, kuhabiskan secangkir kopiku.

“Ampasnya jangan diminum!”

Why?

“Untuk masker. Aku harus tampil cantik di depan Yuki Kun saat kencan nanti.”


Sial!

Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Cerita Sebelumnya : Bintang Kesebelas

Keperawanan

Kututup telingaku saat mendengar suara jerit anak tetanggaku yang baru lulus SD kemarin. Nilainya ujiannya bagus, kata ibunya. Setiap sekolah pasti mau menerimanya, tidak ada yang mau menolak. Tapi hari ini dia pulang dari tes dengan wajah begitu kusut, air mata kering masih menempel di pipinya. Kakaknya yang juga satu SMP tempat si anak mendaftar bingung menjelaskan masalah apa yang menimpa adiknya.


“Mama! Aku nggak boleh ikut tes Ma! Aku nggak bisa masuk sekolah Kakak!” 

“Siapa sih gurunya? Biar Mama labrak nanti. Emang sayangku ini tes apa?”

“Tes keperawanan Ma. Aku kan nggak perawan!”

“Kamu kan laki-laki, nak.” jelas Mamanya.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Bintang Kesebelas

“Yuki Kun!!!”

Aku gelagapan mendengar teriakan itu. Una Chan datang di saat yang tidak tepat. Una Chan terengah-engah membanting teropong miliknya di depan mejaku.

“Sejak kapan sepuluh bintang paling terang di jagad raya berubah jadi sebelas?”

“Sejak…,”

“Aku sudah mengamatinya berbulan-bulan dan mengerjakan teori perbintangan. Kau datang dan merusak teori tanpa permisi.”

“Tenanglah! Akan kutunjukkan bintang itu.”

Kumatikan lampu dan menghidupkan proyektor. Sirius, Canopus, Rigil Kentaurus, Arcturus, Vega, Capella, Rigel, Procyon, Achernar, Betelgeuse semua bintang bermunculan. Kuhidupkan lilin untuk penerangan.

“Mana yang kesebelas?”

“Bintangnya ada di depanku. Bahkan kesepuluh bintang itu kalah terang darinya.”


Aku tertawa, pipi Una Chan merona.

Credit
Bintang kesebelas ini :smile

Diikutsertakan dalam #FF100Kata sekaligus menjawab tantangan Mbak Una Chan :uhuk